cerita itu perlu

Wednesday, April 8, 2015

Malam Di Pantai

No comments :
MALAM DI PANTAI

( bagian 1 )

Sebagai orang normal yang terkadang menonton televisi atau membaca buku-buku cerita, sering kutemui cerita tentang cinta sejati, yang tak lekang dimakan waktu, dan berbagai hal-hal romantis lainnya. Aku mengetahui bahwa itu hanyalah imajinasi manusia belaka. Tetapi di sisi lain, hal itu mengundang pertanyaan yang menggelitik di dalam benakku. Bisakah sebuah cinta dapat bertahan seperti saat untuk pertama kalinya perasaan cinta itu tumbuh? Bisakah cinta tetap ada setelah cinta itu terpisah begitu lama? Dan sekalipun memang ada... bisakah aku mengalami cinta yang semacam itu? Sebagai seorang lelaki yang realistis, aku jelas meragukan itu semua.
Kini, lupakan perihal cinta-cintaan itu. Sekarang aku tengah duduk di atas pasir pantai sendirian, menatap lautan gelap yang berombak tak mau diam. Terlihat mencekam, tetapi entah mengapa mendatangkan perasaan tak asing yang terasa nyaman. Angin malam di pantai ini menerpa kulitku. Membuatku mengenang kembali berbagai hal-hal yang dulu kualami di pantai ini tujuh tahun yang lalu.

Sesuai janjiku dulu, aku datang langsung datang ke tempat ini begitu aku diperbolehkan menghirup udara bebas. Padahal seharusnya aku mengunjungi makam Ibu dulu. Mungkin juga sekalian makam Ayahku. Tetapi aku sudah berjanji. Dan janji dibuat memang untuk ditepati.

Tadi siang, aku langsung menaiki angkutan menuju tempat ini begitu aku mendapatkan kesempatan. Seharusnya aku bisa sampai di pantai ini sore hari. Sayangnya entah bagaimana ceritanya angkutan yang kutumpangi tiba-tiba mogok. Mesinnya mati. Kupikir aku bisa menunggu sampai angkutan itu bisa jalan kembali. Tetapi ternyata tidak. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya aku menaiki angkutan lain. Sayangnya angkutan ini tidak langsung mengarah ke tempat tujuanku, memaksaku berganti angkutan lain di tengah perjalanan. Akhirnya aku baru sampai di tempat tujuanku ini pada malam hari.

Apakah nasib tengah bercanda kepadaku? Dulu ketika untuk pertama kalinya juga saat malam hari. Hanya saja kini kondisiku jauh berbeda dibandingkan dengan dulu. Dulu aku datang ke tempat ini dalam keadaan kacau dan pingsan begitu aku sampai. Tetapi kini lain. Aku datang ke tempat ini dalam keadaan bersih. Aku datang ke sini bukan untuk melarikan diri, melainkan untuk pulang. Meski begitu, waktu mulai memasuki tengah malam. Itu bukan waktu yang tepat untuk mengetuk rumah seseorang. Karena itulah kuputuskan untuk menunggu pagi datang dengan sekedar duduk di pesisir pantai ini, seperti yang dulu biasa kulakukan.

Sudah begitu lama aku meninggalkan tempat ini, tetapi semuanya terasa seperti baru terjadi kemarin. Aku ingin tahu, seberapa banyak tempat ini berubah semenjak kutinggalkan dulu. Apakah para penduduknya masih seramah dulu? Bagaimana keadaan Pak Sis sekarang? Bagaimana pula dengan usaha warung miliknya? Dan yang paling ingin kuketahui adalah bagaimana kabar Laras sekarang?

Aku tersenyum sendiri nama terakhir itu. Sudah bertahun-tahun aku meninggalkannya, wajar bila aku ingin tahu bagaimana kabar dia sekarang. Tentunya kini dia sudah menikah dengan seorang pria yang dapat membahagiakan dirinya. Seseorang yang lebih baik daripada aku. Bahkan mungkin kini dia telah memiliki anak yang menggemaskan, sebagaimana ibunya. Aku yakin, Laras akan menjadi istri sekaligus ibu yang baik dan setia. Meski begitu, Laras tidak perlu menjadi perempuan seperti Ibuku. Setia kepada orang salah. Sehingga Laras tak perlu merasakan penderitaan yang dulu pernah Ibu rasakan.

Ibuku adalah seorang perempuan yang lembut dan penyabar. Tak pernah kulihat satu kali pun Ibu marah kepada seseorang. Sebaliknya, Ayahku adalah seorang yang tegas. Bila aku bandel, Ayah tanpa ampun akan memukuli pantatku keras-keras menggunakan sapu lidi. Kalau sudah begitu, Ibu akan segera datang untuk membelaku.

Ayah bekerja sebagai supir truk. Bila dia sedang membawa muatan ke tempat yang jauh, ke provinsi lain misalnya, Ayah bisa pergi selama beberapa hari sampai lebih dari seminggu. Aku heran kenapa Ibu bisa bersabar meski selalu ditinggal-tinggal oleh Ayah. Apakah Ibu tidak kesepian? Kalau aku, selama ada Ibu di rumah semuanya tidak menjadi masalah. Pernah kutanyakan hal itu kepada Ibu. Ibu tersenyum mendengar pertanyaanku kemudian menjawab, ”Kamu tak akan pernah mengerti ketegaran seorang perempuan yang tengah menanti, Rendi.”

Keluarga kami memang bukanlah keluarga yang kaya. Meski begitu, keluarga kami tidak pernah kekurangan dan tidak pernah mengalami masalah yang berat. Hingga suatu waktu Ayah jarang pulang ke rumah.

Sejak dulu, karena profesinya, Ayah memang sering meninggalkan rumah untuk waktu yang lama. Tetapi saat aku sudah beranjak kelas 3 SMA, Ayah jadi semakin sering tidak ada di rumah. Bila dia pergi, bisa sampai lebih dari dua minggu. Ayah hanya pulang untuk beberapa hari untuk kemudian pergi lagi.

Aku sempat curiga dengan perubahan ini. Saat kutanya, Ayah hanya menjawab,”Ini urusan pekerjaan, Ndi. Ayah semakin sibuk.” Entah kenapa aku sulit untuk percaya. Hingga kudengar kabar burung bahwa Ayah sebenarnya telah menikah lagi dengan seorang perempuan di daerah lain.

Aku terkejut setengah mati saat mendengar kabar itu. Saat itu Ayah sedang tidak ada di rumah. Ibu menyuruhku untuk tidak langsung percaya. Tetapi aku tahu bahwa Ibu sebenarnya juga gelisah memikirkan hal itu. Begitu Ayah pulang, ingin langsung kutanyakan kebenaran kabar tersebut. Tetapi Ibu melarangku. Beliau berkata bahwa beliau-lah yang akan memastikan.

Tetapi Ibu tidak kunjung bertanya. Saat kudesak, Ibu hanya menjawab,”Ibu belum menemukan saat yang tepat, Rendi,” Hingga suatu hari Ibu tiba-tiba jatuh sakit. Aku tidak tahu apa penyakit beliau, tetapi aku merasa bahwa Ibu menderita penyakit yang parah. Obat dari puskemas tak banyak membantu. Ingin kubawa Ibu ke rumah sakit, tetapi baik Ibu maupun aku tidak memiliki uang yang cukup. Saat aku ingin mencari keberadaan Ayah yang tak kunjung pulang, entah kenapa Ibu malah melarangku.

“Pada saatnya nanti, Ayah akan pulang , Rendi…” ucap Ibu lemah.

“Tapi kenapa, Bu…?”

“Rendi, kamu tak akan pernah mengerti ketegaran seorang perempuan yang tengah menanti,” ucap Ibuku lagi.

Dan kenyataannya aku memang tidak mengerti. Aku tidak mengerti mengapa Ibu bersikeras melarangku mencari Ayah. Apakah Ibu takut aku akan menemukan sesuatu? Aku juga tidak mengerti mengapa aku tidak bisa menghubungi ponsel Ayah untuk member kabar bahwa Ibu sakit. Tetapi aku mengerti satu hal. Adalah kesalahan Ayah ketika pada akhirnya Ibu meninggal. Dan Ayah tidak kunjung pulang.

Beberapa hari setelah pemakaman Ibu, Ayah tiba-tiba pulang. Dia pulang seolah-olah baru beberapa hari dia meninggalkan rumah. Padahal Ayah sudah pergi selama hampir tiga bulan. Aku tidak bercerita apa pun hingga Ayah akhirnya dengan entengnya bertanya,“Ibu di mana? Sedang ke pasar, ya?”

Dengan susah payah menahan perasaan emosi, aku menceritakan kematian Ibu kepada Ayah. Ayah tentu saja terkejut. Tetapi betapa kecewanya aku saat Ayah tidak langsung menanyakan di mana Ibu dimakamkan. Ayah malah masuk ke kamar dan menguncinya dari dalam.

Esoknya, tiba-tiba Ayah menawariku tinggal bersama pamanku di Jakarta untuk mencoba mencari pekerjaan. Saat itu aku memang belum lama lulus SMA dan belum memiliki pekerjaan tetap. Meski begitu, aku menangkap maksud lain dari tawaran Ayah.

“Ayah ingin menyingkirkanku sehingga Ayah bisa tinggal bersama istri baru Ayah?” ucapku sinis.

Ayah tampak terkejut mendengarku. Wajahnya seperti seorang pencuri yang baru tertangkap basah melakukan kejahatan. Juga mirip ekspresi anak SD yang ketahuan mengompol di celana. Aku juga sedikit terkejut melihatnya. Apakah Ayah mengira bahwa dia benar-benar bisa menyembunyikan hal itu dari aku dan Ibu?

“Kalau begitu, silakan saja tinggal bersama wanita murahan itu. Aku takkan mengganggu,” tambahku. Kuluapkan semua emosiku yang selama ini telah kupendam.

“Jangan kurang ajar kamu, Rendi!” Ayah juga tersulut emosinya.

Aku tak terlalu ingat persis bagaimana awalnya hingga kami berdua terlibat perkelahian. Suatu hal yang tak pantas dilakukan oleh seorang ayah dan anak, tentunya. Ketika Ayah mengambil asbak untuk memukulku, aku langsung mengangkat bangku kayu dan memukulkannya lebih dulu ke kepala Ayah. Aku tidak tahu setan mana yang merasuki diriku. Tanpa ampun kupukulkan kursi bangku itu ke tubuh Ayah berkali-kali hingga Ayah tidak lagi mengeluarkan suara.

Aku berhenti sambil terengah-engah kelelahan. Kutatap tubuh Ayah yang tergeletak di lantai. Tiba-tiba cairan merah kental mengalir di atas lantai dari tubuh Ayah. Cairan itu tak kunjung berhenti membuatku jantungku terasa berhenti. Langsung kuperiksa tubuh Ayah. Kemudian aku menyadari satu hal. Aku telah membunuh Ayah.

BERSAMBUNG DISINI

No comments :

Post a Comment