cerita itu perlu

Wednesday, April 8, 2015

Malam Di Pantai Bag 3

No comments :
MALAM DI PANTAI

( bagian 3 )

“Ada yang ingin kubicarakan, Pak,” ucapku tiba-tiba kepada Pak Sis. Saat itu Pak Sis tengah membaca koran sore langganannya.

“Oh, boleh saja. Memangnya ada apa?” tanya Pak Sis heran melihat sikapku yang tak biasa ini.


Aku kemudian duduk di kursi berhadapan dengannya. Setelah menarik napas dalam-dalam dan menyiapkan mentalku, dari mulutku mengalirlah cerita tentang masa laluku. Setelah aku menyelesaikan ceritaku, sebuah beban berat terlepas dari hatiku. Kemudian aku memnita maaf kepada Pak Sis karena selama ini telah menyembunyikan masa laluku yang kelam.

Dengan ragu aku melihat Pak Sis untuk mengetahui reaksinya. Aku terkejut tidak menemukan ekspresi keterkejutan di wajah Pak Sis. Wajah tetap tenang, tetapi aku cukup memahami bahwa Pak Sis serius dalam menanggapi cerita masa laluku.

“Sebenarnya Bapak sudah tahu,” Pak Sis berkata dengan pelan.

Akulah yang kemudian terkejut. Aku sama sekali tak menyangka akan memperoleh jawaban seperti itu.

Pak Sis menghela napas pelan. “Apa kamu merasa tidak heran, selama ini Bapak tidak pernah menanyakan tentang kehidupanmu yang dahulu?”

Benar juga. Tak pernah terpikirkan olehku. Selama ini, Pak Sis tak pernah sekali pun menanyakan asal usul keluargaku secara rinci. Padahal mengingat bahwa kami sudah menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk tinggal di rumah yang sama, sangat wajar bila Pak Sis ingin mengetahui tentang keluargaku secara lebih mendalam. Tetapi.. dari mana Pak Sis mengetahui perihal masa laluku yang kelam.

“Mungkin saat ini kamu tengah bertanya-tanya, dari mana Bapak tahu tentang dirimu,” tambah Pak Sis seolah bisa membaca pikiranku.

Pak Sis menunjuk ke koran yang baru saja dibacanya. “Sekitar seminggu setelah kamu menginjakkan kaki di tempat ini, beritamu muncul di koran. Bahkan fotomu pun terpampang di sana.”

Aku tak sama sekali tak menyangka hal seperti itu bisa terjadi. Dulu, aku selalu ingin diriku dimuat di dalam kora atau kalau bisa di televisi. Tapi tentunya bukan sebagai pelaku kejahatan.

Pak Sis kemudian menambahkan. “Kamu beruntung bahwa orang-orang di sekitar kita jarang membaca koran. Selain itu, foto yang terpampang di koran itu adalah fotomu ketika masih memakai seragam SMA. Bila bukan orang yang mengenalmu baik-baik, tak akan menyadari bahwa foto itu adalah kamu.

Aku tidak tahu harus lega atau tidak. Tetapi tetap saja penjelasan Pak Sis tadi belum menjawab pertanyaan terbesarku. Kalau memang selama ini Pak Sis tahu diriku yang sebenarnya, lantas mengapa Pak Sis tetap mengizinkanku tinggal bersamanya?

“Kalau begitu... kenapa Bapak selama ini diam saja dan membiarkan aku tinggal di sini?” tanyaku akhirnya.

Pak Sis tak langsung menjawab. Sebaliknya dia malah menunjukkan wajah tenang kepadaku.

Kemudian dengan perlahan Pak Sis bercerita, “Dulu ketika Bapak membaca koran tentang kamu yang dijadikan tersangka pembunuhan, tentu saja Bapak terkejut. Tetapi entah mengapa hati Bapak melarang Bapak untuk melaporkanmu ke polisi. Dan setelah mengamati tindak tandukmu sehari-hari, Bapak yakin bahwa kamu bukanlah orang jahat yang tega membunuh orang lain. Bahkan Bapak sempat berpikir bahwa kamu dijadikan tersangka pembunuhan karena kesalahpahaman saja. Karena itu selama ini Bapak hanya menunggu, menunggu kamu memberikan penjelasan. Bapak yakin ketika kamu sudah merasa siap untuk menceritakan masa lalumu, kamu akan bercerita sendiri tanpa disuruh.”

Aku hanya terdiam mendengar penjelasan Pak Sis. Suasana tiba-tiba menjadi sunyi. Setelah beberapa saat kami berdua dalam kondisi seperti itu, Pak Sis tiba-tiba menambahkan.

“Rendi, bila saat ini kamu sudah memutuskan untuk menceritakan tentang dirimu yang sebenarnya, berarti kamu sudah memutuskan apa yang akan kamu lakukan selanjutnya, ‘kan?”

Aku mengganggukk mantap.

“Iya, Pak. Saya sudah memutuskan.

--o0o--

Dua hari kemudian, setelah mempersiapkan semuanya, aku bersiap meninggalkan pantai yang telah menampungku selama beberapa bulan ini. Aku berdiri menunggu bis yang akan kutumpangi.

“Jangan menangis terus. Tidak seperti kamu saja,” ucapku kepada Laras yang matanya terus saja basah oleh air mata. Aku merasa canggung melihat Laras yang menangis dari tadi, sangat berbeda dengan sosok Laras yang selama ini kukenal.

“Apa boleh buat ‘kan? Soalnya kamu akan meninggalkan tempat ini untuk waktu yang lama,” jawab Laras sambil mengusap matanya dengan sapu tangan miliknya.

Ya, inilah keputusanku. Aku memutuskan untuk kembali pulang dan menyerahkan diri kepada polisi. Kemarin, aku telah menceritakan kejadian sesungguhnya kepada Laras. Laras terkejut, tentu saja. Awalnya kupikir Laras akan berubah sikap terhadapku, dan menjauhiku. Tetapi terrnyata tidak. Lihatlah dia sekarang. Dia malah bersedih atas kepergianku ini.

Aku menatap Pak Sis yang berdiri di belakang Laras. Aku tahu bahwa sebenarnya Pak Sis merasa berat melepaskanku. Tetapi aku juga tahu bahwa beliau mendukung keputusanku. Sedangkan Laras… Kurasa yang dia rasakan tidak jauh berbeda dengan perasaanku sendiri.

“Kamu akan berada di penjara berapa lama?” tanya Laras padaku setelah tangisnya sudah benar-benar berhenti.

“Aku… juga tidak tahu mengenai itu. Tetapi aku yakin sampai beberapa tahun.”.

“Aku berjanji akan menunggumu,” ucap Laras tiba-tiba. “Aku akan menolak smua lamaran yang datang sampai akhirnya kamu kembali ke sini untuk melamarku.”

Aku terkejut mendengar ucapan Laras barusan. Aku sama sekali tidak menyangka Laras akan mengucapkan hal seperti itu.

“Maaf, Laras. Aku tidak bisa menerima janjimu itu.”

“Kenapa?” tanya Laras tak mengerti. “Bukankah…. Kita saling mencintai?”

Aku tersenyum kepada Laras. “Aku bahkan tidak tahu entah berapa tahun aku baru akan bebas. Kamu tak perlu menunggu seorang lelaki tak jelas nasibnya seperti aku. Carilah lelaki lain yang bisa kau cintai untuk menjadi suamimu. Aku yakin hidupmu akan lebih bahagia dibanding bersama denganku.”

“Tapi…”

“Jangan mudah membuat janji,” potongku. “Janji dibuat untuk ditepati. Karena itu jangan buat janji sulit untu kau tepati. Ditambah lagi, aku juga tidak ingin membuatmu terus menungguku.”

Mungkin aku telah mengucapkan kata-kata yang kejam. Tetapi aku sama sekali tak ingin membuat Laras tersiksa dengan membuatnya terus menungguku.

“Tapi kau akan kembaali lagi ke sini ‘kan?” Laras memastikan lagi.

“Ya. Begitu aku bebas dari penjara, aku akan kembali ke sini. Aku janji.”

Kemudian bis yang akan kutumpangi datang.

Itulah percakapan terakhir kami, tujuh tahun yang lalu. Setelah perpisahanku itu dengan Laras, aku menyerahkan diri ke polisi. Setelah melalui proses pengadilan, aku dijatuhi vonis hukuman penjara selama delapan tahun lebih beberapa bulan. Itu waktu yang relatif lama, memang. Tetapi aku berusaha menerimanya.

Penjara adalah tempat yang tidak menyenangkan, tentu saja. Betapa tidak menyenangkan harus tinggal bersama sekumpulan penjahat (meski sebenarnya aku juga termasuk dalam kumpulan penjahat tersebut). Di sana waktu terasa berjalan sangat lambat. Di tempat itu aku berusaha untuk tidak menganggur. Aku melakukan berbagai pekerjaan yang tersedia di penjara. Saat aku dipenjara aku jadi tahu bahwa di penjara pun ada pekerjaan yang bisa mendatangkan uang. Menjadi tukang cuci, penjahit, menjual makanan ringan, dan lainnya. Aku berusaha tetap sibuk agar tidak terus merindukan suasana pantai, Pak Sis, terutama Laras.

Meski begitu ada hal baik yang kudapatkan di penjara. Sosok Ayah tak pernah lagi muncul dalam mimpiku lagi. Aku bisa tidur dengan lelap sekarang. Bahkan beberapa kali aku bermimpi bertemu dengan Ibu. Entah karena apa, Ibu selalu tersenyum saat kutemui dalam mimpiku.

Dan di sini lah aku sekarang. Aku kembali ke pantai ini setelah kutinggalkan tujuh tahun yang lalu (aku mendapatkan potongan masa hukuman). Sore tadi aku diperbolehkan keluar dari penjara. Aku langsung menaiki kendaraan umum menuju pantai ini. Tetapi aku tiba di sini pada tengah malam. Seolah mengulang kejadian masa lalu saat dulu aku menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di tempat ini. Bedanya adalah saat ini aku tidak datang dengan rasa kalut dan cemas. Dan aku tidak pingsan mala mini.

Karena masih terlalu malam untuk berkunjung ke rumah Pak Sis, aku memutuskan untuk duduk di tepi pantai menunggu pagi menjelang. Sama seperti yang dulu kulakukan bila aku kesulitan tidur setelah mengalami mimpi buruk.

Aku terus mengamati lautan yang tak pernah berhenti berombak dan membiarkan angin malam hari mengepung tubuhku hingga tanpa memperhatikan sekelilingku.

“Akhirnya kamu pulang juga,” suara seseorang dari belakang mengagetkanku. Aku segera membalikkan badan dan merasa seperti déjà vu. Dengan memakai piyama tebal kecoklatan dan rambut hitam panjang yang melambai ditiup angin, Laras berdiri menatapku. Sama seperti ketika dulu Laras menemukanku berada di tempat ini sendirian, pada malam di mana kami berdua saling mengakui perasaan masing-masing.

Aku menggosok-gosok mataku khawatir bahwa ini cuma khayalanku saja. Kemunculan Laras yang terlalu tiba-tiba masih sulit kupercaya.

“Ini bukan mimpi, Ndi. Setelah tak bertemu selama bertahun-tahun, inikah salam darimu buatku?” ucap Laras sambil pura-pura jengkel.

Aku menyadari bahwa Laras benar-benar berada di tepat di depanku. Sambil tersenyum kutanya padanya, “Kali ini, apa yang membuatmu datang kemari malam-malam seperti ini? Kamu tidak bisa tidur?”

Laras berjalan mendekatiku sambil turut tersenyum. “Begitulah. Dan entah kenapa tadi aku merasakan laut memanggil-manggilku untuk datang kemari. Kini aku tahu apa sebabnya.”

“Jadi setelah tujuh tahun kamu sudah berubah menjadi peramal,?”

“Jangan pernah meremehkan firasat perempuan, Rendi.”

Laras kemudian duduk di atas pasir beberapa meter jaraknya dari tempat dudukku. Persis seperti waktu dulu. Kami berdua terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sebenarnya banyak yang ingin kutanyakan padanya setelah sekian lama tak bertemu. Tapi ada satu pertanyaan yang sejak tadi terus mengangguku. Mendesakku untu menanyakannya. Dan akhirnya aku menyerah dan mengucapkan pertanyaan itu.

“Laras, apakah sekarang kamu sudah menikah?”

Tentu saja sudah, aku menjawab sendiri di dalam hati. Apa pula yang menahannya selama ini untuk tidak menikah? Aku yakin banyak lelaki yang rela antri untuk melamarnya.

“Belum,” jawab Laras pelan, tapi benar-benar membuatku terkejut.

“Tapi, Laras…. kenapa…?” aku masih dikuasai rasa keterkejutanku.

Laras menatapku dalam-dalam. Sambil tersenyum dia menjawab pertanyaanku.

”Bukankah aku telah berjanji akan selalu menunggumu? Sebagaimana yang dulu kamu katakan, janji dibuat memang untuk ditepati.”

Aku menatapnya tak percaya.

“Aku yakin pasti sudah banyak pria yang memintamu untuk menjadi seorang kekasih. Kenapa kamu tidak memilih salah satu di antara mereka…?”

Laras menghela napas. “Memang sih, banyak yang datang entah itu melamarku atau hanya ingin menjadikanku seorang pacar. Beberapa dari mereka kelihatan tampan dan berkecukupan. Yah, tetapi…”

“Lalu kenapa….?” aku benar-benar tidak mengerti.

Laras menatapku kembali sambil tersenyum. “Tetapi tetap saja, mereka itu bukan kamu.”

Aku masih sulit untuk percaya. Laras selalu menungguku selama tujuh tahun ini? Bagaimana bisa dia terus menungguku padahal selama ini tak pernah sekalipun aku mengirim kabar padanya? Tetapi saat kutatap wajah Laras, aku sadar bahwa dia mengatakan yang sebenarnya. Meski malam hari, aku bisa melihat ada ketulusan di dalam mata Laras. Juga ada cinta di sana.

Angin tiba-tiba berhembus lebih kencang dan membelai lembut kepalaku. Entah dari mana datangnya, aku merasa seperti mendengar suara Ibu berbisik dengan begitu pelan.

“Rendi, kamu tak akan pernah mengerti ketegaran seorang perempuan yang tengah menanti...”

TAMAT.

No comments :

Post a Comment