cerita itu perlu

Wednesday, April 8, 2015

Malam Di Pantai Bag 2

No comments :
MALAM DI PANTAI

( bagian 2 )

Dengan wajah yang penuh dengan keringat, aku memasak nasi goreng yang baru saja dipesan oleh seorang siswa. Kelihatannya di tengah mengikuti studi wisata yang diselenggarakan sekolahnya. Suatu hal yang lumrah di sini. Pantai selalu menjadi tujuan wisata baik bagi orang dewasa maupun anak sekolahan.

Sudah lebih dari tiga bulan aku berada di pantai ini. Begitu ‘kejadian itu’ terjadi, dengan perasaan kalut dan kebingungan melarikan diri dari rumah. Meninggalkan jenazah Ayahku yang masih terbaring di atas lantai. Setelah mengambil barang yang bisa kuambil di rumah, aku langsung keluar rumah dan menaiki angkutan umum pertama yang kutemui. Aku tak tahu harus pergi ke mana. Aku hanya ingin pergi jauh-jauh dari rumahku. Dari bekas kejahatanku.
Entah bagaimana kejadiannya, aku sampai di pantai ini pada malam hari. Karena kelelahan dan rasa takut yang membebani kepalaku, aku pingsan di di pesisir pantai, hanya beberapa meter dari bibir pantai.. Untunglah ada seorang lelaki cukup tua yang menemukanku tak berdaya di sana. Singkat cerita dia membawaku ke rumahnya dan merawatku. Kepadanya aku mengaku bahwa aku baru saja kehilangan kedua orang tuaku (aku tak menceritakan kejadian detailnya) dan juga tidak memiliki tempat tinggal. Dan beliau langsung percaya saja padaku. Lelaki tua yang kemudian kupanggil Pak Sis ini tanpa bertanya panjang lebar mengizinkanku tinggal bersamanya. Pak Sis berkata bahwa dia hanya tinggal sendirian dan tengah membutuhkan tenaga bantuan di warung makannya yang ada di pantai ini.

Aku pun kemudian tinggal di sini. Tanpa kusadari sudah tiga bulan aku berada di tempat ini. Di tempat pelarianku ini. Sembari terus bekerja, aku berusaha mengubur dalam-dalam tragedi masa lalu .Aku selalu menghindari koran maupun acara berita kriminal yang ada di televisi. Sekalipun aku ragu apakah berita kematian Ayahku akan masuk di televisi, aku selalu menghindari acara berita.

“Sudah selesai?” suara seorang perempuan terdengar dari balik punggungku.

“Ya, ini sudah siap,” jawabku. Sambil mematikan kompor gas. Begitu nasi goreng yang kubuat telah selesai, dengan cekatan perempuan itu membawanya ke pemesan.

Perempuan itu bernama Laras. Dia juga bekerja kepada Pak Sis di warung makan ini, bahkan sejak aku belum ke sini. Sikapnya yang ceria dan supel membuatku bisa akrab dengannya. Dia cantik dan feminim, tetapi kadang-kadang dia bisa terlihat agak tomboy. Meski dia sangat bertolak belakang dengan Ibuku, entah mengapa terkadang aku merasa teringat dengan Ibuku saat aku memandang wajah Laras.

Masih teringat olehku godaan dari Pak Sis beberapa waktu yang lalu.

“Bagaimana pendapatmu tentang Laras?” tanya Pak Sis tiba-tiba pada suatu malam.

“Maksud Pak Sis?” aku balik bertanya.

“Cuma mau tahu saja, apa pendapatmu tentang dia.”

“Kurasa dia gadis yang baik, meski terkadang sedikit keras kepala,” jawabku sekenanya.

“Menurutmu dia cantik tidak?” buru Pak Sis.

“Lumayan cantik.”

“Kalau begitu kenapa kamu tidak menjalin hubungan dengan dia?”

Aku yang saat itu tengah makan malam hampir tersedak mendengar ucapan Pak Sis barusan.

“Kami tidak punya hubungan seperti itu, Pak,” bantahku cepat setelah menenggak segelas air.

“Punya juga tidak apa-apa,” balas Pak Sis nyengir jahil sambil beranjak ke kamarnya meninggalkanku sendirian. Terkadang, aku merasa Pak Sis bersikap tak sesuai dengan umurnya.

Tak diragukan lagi, sebenarnya diam-diam aku memang jatuh hati kepada Laras. Wajahnya yang manis dengan senyumnya yang khas dan juga sikapnya yang baik tentu saja menarik hatiku sebagai seorang laki-laki. Sikapnya yang terkadang sedikit tomboi dan tak mau mengalah malah membuatku penasaran terhadapnya.

Apakah Pak Sis dapat membaca perasaanku itu? Meski begitu aku sadar bahwa aku sama sekali tak pantas untuk bersanding bersama perempuan sebaik Laras. Aku hanyalah seorang buronan yang tengah melarikan diri. Seorang pembunuh yang dengan tega telah membunuh ayah sendiri dan dengan begitu pengecutnya melarikan diri dari itu semua.

Setiap aku bertemu dengan polisi atau mendengar suara sirine mobil polisi yang melintas, jantungku selalu berdebar keras seolah mau lepas dari tempatnya dan punggungku lansung basah oleh keringat. Bahkan sekalipun aku tahu bahwa polisi tersebut tak berniat mencariku, aku tetap tak bisa meredakan jantungku yang berdetak begitu kencang.

Aku juga tidak pernah lagi bisa tertidur dengan nyenyak. Tiap aku terlelap, sosok ayahku yang berlumuran darah selalu muncul dalam mimpiku. Aku sering terbangun tiba-tiba dengan badan penuh keringat di tengah malam dan tak bisa lagi mlanjutkan tidurku. Kalau itu terjadi, dengan diam-diam aku pergi keluar meninggalkan rumah Pak Sis menuju tepi pantai. Di sana aku duduk sendirian di atas pasir memandangi lautan yang berombak. Hanya begitu untuk menghabiskan malam. Begitu pagi menjelang, aku dengan diam-diam pula kembali ke dalam rumah Pak Sis sebelum beliau bangun.

Aku selalu bersyukur bahwa saat aku kebingungan tanpa arah dulu, aku bisa sampai ke tempat ini dan bertemu dengan Pak Sis. Beliau mengizinkan aku tinggal di rumahnya sekalipun aku hanyalah orang asing baginya. Karena itulah aku selalu bekerja dengan giat dan berusaha keras untuk tidak mengecewakan penyelamat hidupku tersebut. Kepada warga sekitar, Pak Sis memperkenalkanku sebagai ‘anak dari saudara jauh yang telah meninggal’. Agar orang-orang tidak berpikir macam-macam, begitu kata Pak Sis padaku.

Dulu Pak Sis sebenarnya tinggal bersama seorang istri dan seorang anak lelaki yang seumuran denganku. Sayangnya, lima tahun silam keduanya meninggal akibat peristiwa tabrak lari. Sampai saat ini pelakunya belum tertangkap. Sepeninggal keduanya Pak Sis tinggal sendirian di rumahnya dengan tetap menjalankan warung makannya yang sederhana bersama Laras. Hingga tiba-tiba aku muncul di pantai ini.

Mungkin karena aku juga sebatang kara yang menyebabkan Pak Sis membolehkan aku tinggal bersama beliau. Di tempat ini aku menjalani hari-hari yang damai meski masih dihantui kenangan atas kejahatan di masa lalu. Entah sampai kapan situasi ini akan bertahan.

Hingga suatu hari, kudengar kabar yang tak ada hubungannya denganku, tetapi cukup untuk membuatku terkejut. Laras dilamar oleh seorang lelaki yang dulu merupakan teman SMP Laras. Sekalipun aku tak mengharapkan hubungan yang lebih dari sekadar sahabat dengannya, harus kuakui dalam hati aku merasa lega ketika mendengar bahwa Laras menolak lamaran tersebut.

Aku pun menanyakan tentang hal itu kepada orangnya langsung.

“Laras, kenapa kamu menolak saat kamu dilamar kemarin?” tanyaku saat warung tengah sepi pelanggan.

Laras membalik badannya dan menatapku sambil memperlihatkan senyum khasnya, ”Kamu benar-benar ingin tahu?”

Aku agak terpesona melihat wajah Laras yang terseyum kepadaku.

“Ya… cuma ingin tanya saja.”

“Soalnya bukan dia orang kusukai,” jawab Laras kalem. Begitu sederhana, tetapi memancingku untuk bertanya: lantas siapa orang yang kamu sukai? Tetapi tak kutanyakan pertanyaan tersebut.

“Orang tuamu tak keberatan? Usiamu sudah cukup untuk menikah, lho.”

“Ayah menyerahkan keputusan sepenuhnya kepadaku. Kalau Ibu sih kelihatan sedikit kecewa. Tapi tak apa-apa.”

Aku mengerti. Aku pernah mendengar bahwa dulu ayah Laras pernah memaksa kakak perempuan Laras untuk menikahi anak lelaki dari teman ayah Laras. Rumah tangga mereka berdua berantakan dan berakhir dengan kematian kakak Laras yang bunuh diri menggunakan racun serangga. Wajar saja bila kini ayah Laras menyerahkan sepenuhnya keputusan soal pernikahan kepada Laras meski aku yakin Laras tak akan pernah melakukan bunuh diri.

Obrolan kami kemudian berlanjut ke masalah-masalah biasa. Setelah percakapan itu, sempat terpikir olehku mengenai masa depanku yang tak jelas arahnya. Malamnya, untuk kesekian kalinya aku mengalami mimpi yang sama seperti sebelum-sebelumya. Aku melihat sosok Ayahku yang berlumuran darah dengan perlahan-lahan berjalan mendekatiku. Aku terbangun dengan badan penuh dengan keringat dan tak bisa melanjutkan tidurku meski aku sudah berusaha. Kemudian aku pergi ke tepi pantai, seperti malam-malam sebelumnya.

Di sana aku bertanya-tanya tentang bagaimana masa depanku kelak. Apakah aku akan terus menetap di pantai ini sambil bersembunyi dari kesalahanku di masa lalu? Ataukah pada akhirnya aku harus bertanggung jawab atas kematian Ayahku? Aku terus memikirkan hal itu hngga tidak menyadari bahwa ada di belakangku seseorang yang tengah berjalan mendekatiku.

“Rendi?”

Aku terkejut mendengar seseorang memanggil namaku. Begitu berbalik aku mendapati sesosok perempuan memakai piyama coklat tebal dengan rambut hitam panjang melambai oleh angin.

Laras.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” Aku yang masih terkejut bertanya kepada Laras.

“Itu yang tadi ingin kutanyakan padamu,” balas Laras. Kemudian dia ikut duduk di atas pasir, beberapa meter dari tempat dudukku.

“Aku tidak bisa tidur,” kataku kemudian. “Aku biasa ke sini bila sulit tidur.”

“Kamu tidak takut hantu?” tanya Laras

“Tentu saja tidak,” jawabku. “Bukannya kamu yang lebih aneh, seorang gadis sendirian pergi ke pantai tengah alam begini?”

Laras tertawa perlahan. “Ya, kamu benar juga.”

Kami berdua terdiam. Sementara di depan kami ombak terus berdebaran tanpa henti.

“Aku juga sedang tidak bisa tidur,” tiba-tiba Laras bersuara.

“Kenapa?” tanyaku.

Laras menatap jauh ke arah lautan. “Aku tengah gelisah memikirkan sesuatu. Entah kenapa aku merasa dengan pergi ke sini aku akan menemukan sesuatu. Dan ternyata kamu sedang ada di sini. Mungkin … ini yang disebut dengan takdir.”

Aku ke sini hampir tiap malam, kataku dalam hati. Jadi bila suatu waktu Laras pergi ke tepi pantai pada tengah malam, dia pasti akan bertemu denganku. Meski begitu, aku tidak mengatakan hal itu kepada Laras.

“Memangnya kamu sedang gelisah memikirkan apa?” tanyaku kemudian. “Jangan-jangan kamu menyesali keputusanmu menolak lamaran kemarin.”

“Sama sekali tidak,” jawab Laras mantap. “Meski masih ada hubungannya dengan masalah lamaran.”

“Kalau bukan, lalu apa?”

Laras menghembuskan napas berat. “Aku tengah bertanya-tanya, apakah kira-kira kelak aku bisa menikah dengan pria yang benar-benar kusukai.”

“Kenapa tidak?” balasku. “Aku yakin kamu bisa bersama dengan laki-laki yang benar-benar kau cintai. Dengan sedikit usaha, tentunya,” Dan aku sangat iri dengan laki-laki itu, bisikku dalam hati.

“Tidakkah memalukan jika pihak perempuan yang mengungkapkan perasaanya terlebih dahulu?” tanya Laras lagi.

“Kurasa tidak masalah,” jawabku. “Berarti… saat ini ada seseorang yang tengah kau sukai ‘kan?”

Tiba-tiba wajah Laras memerah. Manis sekali. “Ya… begitulah…”

“Kalau boleh tahu, siapa orang itu?” tanyaku sambil berusaha tersenyum sekalipun rasanya aku patah hati.

Laras memilin-milin ujung rambutnya yang panjang. Kemudian dengan perlahan dia berkata, “Orang itu adalah… kamu.”

Sekalipun suara Laras begitu pelan, rasanya aku seperti tersambar petir mendengar jawaban dari Laras yang begitu terang-terangan tersebut. Aku tidak menyangka, ternyata Laras juga memiliki perasaan yang sama denganku. Atau jangan-jangan… aku saja yang tidak peka selama ini.

Meski aku merasa sangat senang dengan pernyataan cinta Laras barusan, aku sadar bahwa aku tidak layak menerima cinta Laras. Aku hanyalah seorang buronan yang selalu dihantui mimpi buruk. Laras berhak mendapatkan lelaki lain yang lebih baik daripada aku. Sekalipun terasa berat dan menyakitkan, aku harus menolak perasaan cinta Laras.

“Aku juga mencintaimu, Laras,” tiba-tiba telingaku mendengar ada seseorang yang mengucapkan kalimat itu. Tetapi tidak kudapati orang lain di tempat itu selain aku dan Laras. Dan anehnya, suara orang tersebut terdengar seperti suaraku.Tunggu... ataukah jangan-jangan memang aku yang mengucapkannya?

Dengan ragu-ragu aku mencoba melihat ke arah Laras. Laras yang terlihat terkejut mendengar ucapanku barusan. Wajahnya mendadak memerah. Dia tidak tahu, bahwa aku sendiri lebih terkejut karena telah mengucapkan hal tadi. Lancang benar mulutku ini!

Kami berdua langsung saling mengalihkan pandangan. Aku tidak tahu lagi bagaimana wajahku sekarang. Suasana canggung langsung muncul di antara kami.

“Aku… duluan,” ucap tiba-tiba Laras memecah kebekuan di antara kami berdua. Dia berdiri dan langsung berjalan pulang ke rumahnya. Meninggalkanku sendirian di tempat ini yang masih tidak percaya dengan kejadian barusan.

--o0o--



Setelah Laras sudah tak terlihat, aku masih memikirkan kejadian menakjubkan yang baru kualami tadi. Itu adalah pertama kalinya ada seorang gadis yang menyatakan cinta kepadaku. Ditambah lagi, gadis itu adalah gadis yang memang kucintai. Sebagai seorang pemuda yang miskin pengalaman cinta, tentunya itu adalah sebuah momen yang tak terlupakan.

Tetapi sejenak kemudian aku malah kebingungan Apa yang akan terjadi antara aku dan Laras? Dia telah mengungkapkan perasaanku dan tanpa sengaja aku juga melakukan hal yang sama kepadanya. Apakah dengan ini kami akan menjadi sepasang kekasih?

Aku menggeleng pelan. Tidak. Bagaimana pun, Laras terlalu baik untukku. Sempat terlintas dalam benakku gagasan di mana aku bisa bersama-sama Laras dan tetap menyembunyikan diriku yang sebenarnya seorang buronan, penjahat, pembunuh. Tetapi aku sadar bahwa aku takkan melakukan hal seperti itu.

Apakah aku akan tetap bersama-sama dengan Laras sambil menyembunyikan kenyataan bahwa diriku adalah seorang penjahat, buronan, pembunuh?

alam perjalanan ke rumah Pak Sis yang singkat tersebut, entah bagaimana tiba-tiba aku merasa tahu jawabannya. Setelah berbulan-bulan lamanya aku dilanda kebingungan dan ketidakpastian, untuk pertama kalinya aku merasa tahu apa yang harus kulakukan.

BERSAMBUNG DISINI

No comments :

Post a Comment