ceritakansaja.com

cerita itu perlu

Tuesday, April 28, 2015

Sakit Hati "Apa Hanya Karena "Kenapa

No comments :
Sakit Hati apa hanya karena kenapa
SIAPAKAH AKU?


“Apa?...”

Suara lemah menggema, suara pertanyaan dari dalam jiwaku sendiri. “Apa…

Jika sudah lelah jiwa berkata “Apa…” dia baru mulai membawaku kedalam ruang hampa. Ruang hampa dambaanku sejak mata merah ini mulai terpejam.
Namun, tak pernah mudah aku meminta jiwa sesegera mungkin membawaku kedalam ruang itu, dia selalu bermain kata dahulu, “Apa…, terlebih marah aku jika jiwa lalai menyembunyikan teman “Apa…, “Kenapa…,” dia datang tanpa satu pun pihak menyetujui. Tak mengapa “Apa… selalu dibawa jiwa dalam permainan katanya, masih bisa mata hati dan rasa nyata berusaha menjawab maknanya, menguak dibalik “Apa…, tapi ketika jiwa mulai lupa harus menyembunyikan “Kenapa…, maka ketika jiwa sudah ingin membawaku ke dalam ruang hampa yang kurindu, aku, ku yang tak mampu, tak mampu ku menjawab “Kenapa… lagi-lagi aku harus melawannya, mengusirnya, meninggalkanku, “Kenapa…

Tak pernah mudah dia pergi, “Kenapa… dia lebih merisaukan dari pada “Apa…

Lagi-lagi, jiwa memaksaku pergi menuju keruang hampa, tanpa harus aku bisa mengusir “Kenapa… Aku menangis, kenapa aku menangis.

“Apa… dia sudah diam dipojok kekalahan setelah ku patahkan semua pertanyaannya. Diam lara, “Apa… merenung akan kekalahannya kepada “Kenapa…” “Apa… berteriak lirih, mengutuk “Kenapa…” meninggalkan dunia jiwa.

Jiwa tak pernah sadar, tak pernah sadar, tak pernah sadar dia membawa “Apa… dan hanya melukainya. Jiwa terlalu menganggap sahabat “Apa…” dan “kenapa…,” hingga jika “Kenapa…” datang lagi di ambang jiwaku, jiwa hanya bisa berjabat tangan dan menyuguhkan senyum. Padahal, padahal “Apa… memendam dendam kepada “Kenapa…” kenapa “Kenapa…” selalu yang bisa membuatku tersiksa dan sering tidak bisa menjawab “Kenapa…”

“Kenapa…!!!!...”




Wednesday, April 8, 2015

Malam Di Pantai Bag 3

No comments :
MALAM DI PANTAI

( bagian 3 )

“Ada yang ingin kubicarakan, Pak,” ucapku tiba-tiba kepada Pak Sis. Saat itu Pak Sis tengah membaca koran sore langganannya.

“Oh, boleh saja. Memangnya ada apa?” tanya Pak Sis heran melihat sikapku yang tak biasa ini.

Malam Di Pantai Bag 2

No comments :
MALAM DI PANTAI

( bagian 2 )

Dengan wajah yang penuh dengan keringat, aku memasak nasi goreng yang baru saja dipesan oleh seorang siswa. Kelihatannya di tengah mengikuti studi wisata yang diselenggarakan sekolahnya. Suatu hal yang lumrah di sini. Pantai selalu menjadi tujuan wisata baik bagi orang dewasa maupun anak sekolahan.

Sudah lebih dari tiga bulan aku berada di pantai ini. Begitu ‘kejadian itu’ terjadi, dengan perasaan kalut dan kebingungan melarikan diri dari rumah. Meninggalkan jenazah Ayahku yang masih terbaring di atas lantai. Setelah mengambil barang yang bisa kuambil di rumah, aku langsung keluar rumah dan menaiki angkutan umum pertama yang kutemui. Aku tak tahu harus pergi ke mana. Aku hanya ingin pergi jauh-jauh dari rumahku. Dari bekas kejahatanku.
Entah bagaimana kejadiannya, aku sampai di pantai ini pada malam hari. Karena kelelahan dan rasa takut yang membebani kepalaku, aku pingsan di di pesisir pantai, hanya beberapa meter dari bibir pantai.. Untunglah ada seorang lelaki cukup tua yang menemukanku tak berdaya di sana. Singkat cerita dia membawaku ke rumahnya dan merawatku. Kepadanya aku mengaku bahwa aku baru saja kehilangan kedua orang tuaku (aku tak menceritakan kejadian detailnya) dan juga tidak memiliki tempat tinggal. Dan beliau langsung percaya saja padaku. Lelaki tua yang kemudian kupanggil Pak Sis ini tanpa bertanya panjang lebar mengizinkanku tinggal bersamanya. Pak Sis berkata bahwa dia hanya tinggal sendirian dan tengah membutuhkan tenaga bantuan di warung makannya yang ada di pantai ini.

Aku pun kemudian tinggal di sini. Tanpa kusadari sudah tiga bulan aku berada di tempat ini. Di tempat pelarianku ini. Sembari terus bekerja, aku berusaha mengubur dalam-dalam tragedi masa lalu .Aku selalu menghindari koran maupun acara berita kriminal yang ada di televisi. Sekalipun aku ragu apakah berita kematian Ayahku akan masuk di televisi, aku selalu menghindari acara berita.

“Sudah selesai?” suara seorang perempuan terdengar dari balik punggungku.

“Ya, ini sudah siap,” jawabku. Sambil mematikan kompor gas. Begitu nasi goreng yang kubuat telah selesai, dengan cekatan perempuan itu membawanya ke pemesan.

Perempuan itu bernama Laras. Dia juga bekerja kepada Pak Sis di warung makan ini, bahkan sejak aku belum ke sini. Sikapnya yang ceria dan supel membuatku bisa akrab dengannya. Dia cantik dan feminim, tetapi kadang-kadang dia bisa terlihat agak tomboy. Meski dia sangat bertolak belakang dengan Ibuku, entah mengapa terkadang aku merasa teringat dengan Ibuku saat aku memandang wajah Laras.

Masih teringat olehku godaan dari Pak Sis beberapa waktu yang lalu.

“Bagaimana pendapatmu tentang Laras?” tanya Pak Sis tiba-tiba pada suatu malam.

“Maksud Pak Sis?” aku balik bertanya.

“Cuma mau tahu saja, apa pendapatmu tentang dia.”

“Kurasa dia gadis yang baik, meski terkadang sedikit keras kepala,” jawabku sekenanya.

“Menurutmu dia cantik tidak?” buru Pak Sis.

“Lumayan cantik.”

“Kalau begitu kenapa kamu tidak menjalin hubungan dengan dia?”

Aku yang saat itu tengah makan malam hampir tersedak mendengar ucapan Pak Sis barusan.

“Kami tidak punya hubungan seperti itu, Pak,” bantahku cepat setelah menenggak segelas air.

“Punya juga tidak apa-apa,” balas Pak Sis nyengir jahil sambil beranjak ke kamarnya meninggalkanku sendirian. Terkadang, aku merasa Pak Sis bersikap tak sesuai dengan umurnya.

Tak diragukan lagi, sebenarnya diam-diam aku memang jatuh hati kepada Laras. Wajahnya yang manis dengan senyumnya yang khas dan juga sikapnya yang baik tentu saja menarik hatiku sebagai seorang laki-laki. Sikapnya yang terkadang sedikit tomboi dan tak mau mengalah malah membuatku penasaran terhadapnya.

Apakah Pak Sis dapat membaca perasaanku itu? Meski begitu aku sadar bahwa aku sama sekali tak pantas untuk bersanding bersama perempuan sebaik Laras. Aku hanyalah seorang buronan yang tengah melarikan diri. Seorang pembunuh yang dengan tega telah membunuh ayah sendiri dan dengan begitu pengecutnya melarikan diri dari itu semua.

Setiap aku bertemu dengan polisi atau mendengar suara sirine mobil polisi yang melintas, jantungku selalu berdebar keras seolah mau lepas dari tempatnya dan punggungku lansung basah oleh keringat. Bahkan sekalipun aku tahu bahwa polisi tersebut tak berniat mencariku, aku tetap tak bisa meredakan jantungku yang berdetak begitu kencang.

Aku juga tidak pernah lagi bisa tertidur dengan nyenyak. Tiap aku terlelap, sosok ayahku yang berlumuran darah selalu muncul dalam mimpiku. Aku sering terbangun tiba-tiba dengan badan penuh keringat di tengah malam dan tak bisa lagi mlanjutkan tidurku. Kalau itu terjadi, dengan diam-diam aku pergi keluar meninggalkan rumah Pak Sis menuju tepi pantai. Di sana aku duduk sendirian di atas pasir memandangi lautan yang berombak. Hanya begitu untuk menghabiskan malam. Begitu pagi menjelang, aku dengan diam-diam pula kembali ke dalam rumah Pak Sis sebelum beliau bangun.

Aku selalu bersyukur bahwa saat aku kebingungan tanpa arah dulu, aku bisa sampai ke tempat ini dan bertemu dengan Pak Sis. Beliau mengizinkan aku tinggal di rumahnya sekalipun aku hanyalah orang asing baginya. Karena itulah aku selalu bekerja dengan giat dan berusaha keras untuk tidak mengecewakan penyelamat hidupku tersebut. Kepada warga sekitar, Pak Sis memperkenalkanku sebagai ‘anak dari saudara jauh yang telah meninggal’. Agar orang-orang tidak berpikir macam-macam, begitu kata Pak Sis padaku.

Dulu Pak Sis sebenarnya tinggal bersama seorang istri dan seorang anak lelaki yang seumuran denganku. Sayangnya, lima tahun silam keduanya meninggal akibat peristiwa tabrak lari. Sampai saat ini pelakunya belum tertangkap. Sepeninggal keduanya Pak Sis tinggal sendirian di rumahnya dengan tetap menjalankan warung makannya yang sederhana bersama Laras. Hingga tiba-tiba aku muncul di pantai ini.

Mungkin karena aku juga sebatang kara yang menyebabkan Pak Sis membolehkan aku tinggal bersama beliau. Di tempat ini aku menjalani hari-hari yang damai meski masih dihantui kenangan atas kejahatan di masa lalu. Entah sampai kapan situasi ini akan bertahan.

Hingga suatu hari, kudengar kabar yang tak ada hubungannya denganku, tetapi cukup untuk membuatku terkejut. Laras dilamar oleh seorang lelaki yang dulu merupakan teman SMP Laras. Sekalipun aku tak mengharapkan hubungan yang lebih dari sekadar sahabat dengannya, harus kuakui dalam hati aku merasa lega ketika mendengar bahwa Laras menolak lamaran tersebut.

Aku pun menanyakan tentang hal itu kepada orangnya langsung.

“Laras, kenapa kamu menolak saat kamu dilamar kemarin?” tanyaku saat warung tengah sepi pelanggan.

Laras membalik badannya dan menatapku sambil memperlihatkan senyum khasnya, ”Kamu benar-benar ingin tahu?”

Aku agak terpesona melihat wajah Laras yang terseyum kepadaku.

“Ya… cuma ingin tanya saja.”

“Soalnya bukan dia orang kusukai,” jawab Laras kalem. Begitu sederhana, tetapi memancingku untuk bertanya: lantas siapa orang yang kamu sukai? Tetapi tak kutanyakan pertanyaan tersebut.

“Orang tuamu tak keberatan? Usiamu sudah cukup untuk menikah, lho.”

“Ayah menyerahkan keputusan sepenuhnya kepadaku. Kalau Ibu sih kelihatan sedikit kecewa. Tapi tak apa-apa.”

Aku mengerti. Aku pernah mendengar bahwa dulu ayah Laras pernah memaksa kakak perempuan Laras untuk menikahi anak lelaki dari teman ayah Laras. Rumah tangga mereka berdua berantakan dan berakhir dengan kematian kakak Laras yang bunuh diri menggunakan racun serangga. Wajar saja bila kini ayah Laras menyerahkan sepenuhnya keputusan soal pernikahan kepada Laras meski aku yakin Laras tak akan pernah melakukan bunuh diri.

Obrolan kami kemudian berlanjut ke masalah-masalah biasa. Setelah percakapan itu, sempat terpikir olehku mengenai masa depanku yang tak jelas arahnya. Malamnya, untuk kesekian kalinya aku mengalami mimpi yang sama seperti sebelum-sebelumya. Aku melihat sosok Ayahku yang berlumuran darah dengan perlahan-lahan berjalan mendekatiku. Aku terbangun dengan badan penuh dengan keringat dan tak bisa melanjutkan tidurku meski aku sudah berusaha. Kemudian aku pergi ke tepi pantai, seperti malam-malam sebelumnya.

Di sana aku bertanya-tanya tentang bagaimana masa depanku kelak. Apakah aku akan terus menetap di pantai ini sambil bersembunyi dari kesalahanku di masa lalu? Ataukah pada akhirnya aku harus bertanggung jawab atas kematian Ayahku? Aku terus memikirkan hal itu hngga tidak menyadari bahwa ada di belakangku seseorang yang tengah berjalan mendekatiku.

“Rendi?”

Aku terkejut mendengar seseorang memanggil namaku. Begitu berbalik aku mendapati sesosok perempuan memakai piyama coklat tebal dengan rambut hitam panjang melambai oleh angin.

Laras.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” Aku yang masih terkejut bertanya kepada Laras.

“Itu yang tadi ingin kutanyakan padamu,” balas Laras. Kemudian dia ikut duduk di atas pasir, beberapa meter dari tempat dudukku.

“Aku tidak bisa tidur,” kataku kemudian. “Aku biasa ke sini bila sulit tidur.”

“Kamu tidak takut hantu?” tanya Laras

“Tentu saja tidak,” jawabku. “Bukannya kamu yang lebih aneh, seorang gadis sendirian pergi ke pantai tengah alam begini?”

Laras tertawa perlahan. “Ya, kamu benar juga.”

Kami berdua terdiam. Sementara di depan kami ombak terus berdebaran tanpa henti.

“Aku juga sedang tidak bisa tidur,” tiba-tiba Laras bersuara.

“Kenapa?” tanyaku.

Laras menatap jauh ke arah lautan. “Aku tengah gelisah memikirkan sesuatu. Entah kenapa aku merasa dengan pergi ke sini aku akan menemukan sesuatu. Dan ternyata kamu sedang ada di sini. Mungkin … ini yang disebut dengan takdir.”

Aku ke sini hampir tiap malam, kataku dalam hati. Jadi bila suatu waktu Laras pergi ke tepi pantai pada tengah malam, dia pasti akan bertemu denganku. Meski begitu, aku tidak mengatakan hal itu kepada Laras.

“Memangnya kamu sedang gelisah memikirkan apa?” tanyaku kemudian. “Jangan-jangan kamu menyesali keputusanmu menolak lamaran kemarin.”

“Sama sekali tidak,” jawab Laras mantap. “Meski masih ada hubungannya dengan masalah lamaran.”

“Kalau bukan, lalu apa?”

Laras menghembuskan napas berat. “Aku tengah bertanya-tanya, apakah kira-kira kelak aku bisa menikah dengan pria yang benar-benar kusukai.”

“Kenapa tidak?” balasku. “Aku yakin kamu bisa bersama dengan laki-laki yang benar-benar kau cintai. Dengan sedikit usaha, tentunya,” Dan aku sangat iri dengan laki-laki itu, bisikku dalam hati.

“Tidakkah memalukan jika pihak perempuan yang mengungkapkan perasaanya terlebih dahulu?” tanya Laras lagi.

“Kurasa tidak masalah,” jawabku. “Berarti… saat ini ada seseorang yang tengah kau sukai ‘kan?”

Tiba-tiba wajah Laras memerah. Manis sekali. “Ya… begitulah…”

“Kalau boleh tahu, siapa orang itu?” tanyaku sambil berusaha tersenyum sekalipun rasanya aku patah hati.

Laras memilin-milin ujung rambutnya yang panjang. Kemudian dengan perlahan dia berkata, “Orang itu adalah… kamu.”

Sekalipun suara Laras begitu pelan, rasanya aku seperti tersambar petir mendengar jawaban dari Laras yang begitu terang-terangan tersebut. Aku tidak menyangka, ternyata Laras juga memiliki perasaan yang sama denganku. Atau jangan-jangan… aku saja yang tidak peka selama ini.

Meski aku merasa sangat senang dengan pernyataan cinta Laras barusan, aku sadar bahwa aku tidak layak menerima cinta Laras. Aku hanyalah seorang buronan yang selalu dihantui mimpi buruk. Laras berhak mendapatkan lelaki lain yang lebih baik daripada aku. Sekalipun terasa berat dan menyakitkan, aku harus menolak perasaan cinta Laras.

“Aku juga mencintaimu, Laras,” tiba-tiba telingaku mendengar ada seseorang yang mengucapkan kalimat itu. Tetapi tidak kudapati orang lain di tempat itu selain aku dan Laras. Dan anehnya, suara orang tersebut terdengar seperti suaraku.Tunggu... ataukah jangan-jangan memang aku yang mengucapkannya?

Dengan ragu-ragu aku mencoba melihat ke arah Laras. Laras yang terlihat terkejut mendengar ucapanku barusan. Wajahnya mendadak memerah. Dia tidak tahu, bahwa aku sendiri lebih terkejut karena telah mengucapkan hal tadi. Lancang benar mulutku ini!

Kami berdua langsung saling mengalihkan pandangan. Aku tidak tahu lagi bagaimana wajahku sekarang. Suasana canggung langsung muncul di antara kami.

“Aku… duluan,” ucap tiba-tiba Laras memecah kebekuan di antara kami berdua. Dia berdiri dan langsung berjalan pulang ke rumahnya. Meninggalkanku sendirian di tempat ini yang masih tidak percaya dengan kejadian barusan.

--o0o--



Setelah Laras sudah tak terlihat, aku masih memikirkan kejadian menakjubkan yang baru kualami tadi. Itu adalah pertama kalinya ada seorang gadis yang menyatakan cinta kepadaku. Ditambah lagi, gadis itu adalah gadis yang memang kucintai. Sebagai seorang pemuda yang miskin pengalaman cinta, tentunya itu adalah sebuah momen yang tak terlupakan.

Tetapi sejenak kemudian aku malah kebingungan Apa yang akan terjadi antara aku dan Laras? Dia telah mengungkapkan perasaanku dan tanpa sengaja aku juga melakukan hal yang sama kepadanya. Apakah dengan ini kami akan menjadi sepasang kekasih?

Aku menggeleng pelan. Tidak. Bagaimana pun, Laras terlalu baik untukku. Sempat terlintas dalam benakku gagasan di mana aku bisa bersama-sama Laras dan tetap menyembunyikan diriku yang sebenarnya seorang buronan, penjahat, pembunuh. Tetapi aku sadar bahwa aku takkan melakukan hal seperti itu.

Apakah aku akan tetap bersama-sama dengan Laras sambil menyembunyikan kenyataan bahwa diriku adalah seorang penjahat, buronan, pembunuh?

alam perjalanan ke rumah Pak Sis yang singkat tersebut, entah bagaimana tiba-tiba aku merasa tahu jawabannya. Setelah berbulan-bulan lamanya aku dilanda kebingungan dan ketidakpastian, untuk pertama kalinya aku merasa tahu apa yang harus kulakukan.

BERSAMBUNG DISINI

Malam Di Pantai

No comments :
MALAM DI PANTAI

( bagian 1 )

Sebagai orang normal yang terkadang menonton televisi atau membaca buku-buku cerita, sering kutemui cerita tentang cinta sejati, yang tak lekang dimakan waktu, dan berbagai hal-hal romantis lainnya. Aku mengetahui bahwa itu hanyalah imajinasi manusia belaka. Tetapi di sisi lain, hal itu mengundang pertanyaan yang menggelitik di dalam benakku. Bisakah sebuah cinta dapat bertahan seperti saat untuk pertama kalinya perasaan cinta itu tumbuh? Bisakah cinta tetap ada setelah cinta itu terpisah begitu lama? Dan sekalipun memang ada... bisakah aku mengalami cinta yang semacam itu? Sebagai seorang lelaki yang realistis, aku jelas meragukan itu semua.
Kini, lupakan perihal cinta-cintaan itu. Sekarang aku tengah duduk di atas pasir pantai sendirian, menatap lautan gelap yang berombak tak mau diam. Terlihat mencekam, tetapi entah mengapa mendatangkan perasaan tak asing yang terasa nyaman. Angin malam di pantai ini menerpa kulitku. Membuatku mengenang kembali berbagai hal-hal yang dulu kualami di pantai ini tujuh tahun yang lalu.

Sesuai janjiku dulu, aku datang langsung datang ke tempat ini begitu aku diperbolehkan menghirup udara bebas. Padahal seharusnya aku mengunjungi makam Ibu dulu. Mungkin juga sekalian makam Ayahku. Tetapi aku sudah berjanji. Dan janji dibuat memang untuk ditepati.

Tadi siang, aku langsung menaiki angkutan menuju tempat ini begitu aku mendapatkan kesempatan. Seharusnya aku bisa sampai di pantai ini sore hari. Sayangnya entah bagaimana ceritanya angkutan yang kutumpangi tiba-tiba mogok. Mesinnya mati. Kupikir aku bisa menunggu sampai angkutan itu bisa jalan kembali. Tetapi ternyata tidak. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya aku menaiki angkutan lain. Sayangnya angkutan ini tidak langsung mengarah ke tempat tujuanku, memaksaku berganti angkutan lain di tengah perjalanan. Akhirnya aku baru sampai di tempat tujuanku ini pada malam hari.

Apakah nasib tengah bercanda kepadaku? Dulu ketika untuk pertama kalinya juga saat malam hari. Hanya saja kini kondisiku jauh berbeda dibandingkan dengan dulu. Dulu aku datang ke tempat ini dalam keadaan kacau dan pingsan begitu aku sampai. Tetapi kini lain. Aku datang ke tempat ini dalam keadaan bersih. Aku datang ke sini bukan untuk melarikan diri, melainkan untuk pulang. Meski begitu, waktu mulai memasuki tengah malam. Itu bukan waktu yang tepat untuk mengetuk rumah seseorang. Karena itulah kuputuskan untuk menunggu pagi datang dengan sekedar duduk di pesisir pantai ini, seperti yang dulu biasa kulakukan.

Sudah begitu lama aku meninggalkan tempat ini, tetapi semuanya terasa seperti baru terjadi kemarin. Aku ingin tahu, seberapa banyak tempat ini berubah semenjak kutinggalkan dulu. Apakah para penduduknya masih seramah dulu? Bagaimana keadaan Pak Sis sekarang? Bagaimana pula dengan usaha warung miliknya? Dan yang paling ingin kuketahui adalah bagaimana kabar Laras sekarang?

Aku tersenyum sendiri nama terakhir itu. Sudah bertahun-tahun aku meninggalkannya, wajar bila aku ingin tahu bagaimana kabar dia sekarang. Tentunya kini dia sudah menikah dengan seorang pria yang dapat membahagiakan dirinya. Seseorang yang lebih baik daripada aku. Bahkan mungkin kini dia telah memiliki anak yang menggemaskan, sebagaimana ibunya. Aku yakin, Laras akan menjadi istri sekaligus ibu yang baik dan setia. Meski begitu, Laras tidak perlu menjadi perempuan seperti Ibuku. Setia kepada orang salah. Sehingga Laras tak perlu merasakan penderitaan yang dulu pernah Ibu rasakan.

Ibuku adalah seorang perempuan yang lembut dan penyabar. Tak pernah kulihat satu kali pun Ibu marah kepada seseorang. Sebaliknya, Ayahku adalah seorang yang tegas. Bila aku bandel, Ayah tanpa ampun akan memukuli pantatku keras-keras menggunakan sapu lidi. Kalau sudah begitu, Ibu akan segera datang untuk membelaku.

Ayah bekerja sebagai supir truk. Bila dia sedang membawa muatan ke tempat yang jauh, ke provinsi lain misalnya, Ayah bisa pergi selama beberapa hari sampai lebih dari seminggu. Aku heran kenapa Ibu bisa bersabar meski selalu ditinggal-tinggal oleh Ayah. Apakah Ibu tidak kesepian? Kalau aku, selama ada Ibu di rumah semuanya tidak menjadi masalah. Pernah kutanyakan hal itu kepada Ibu. Ibu tersenyum mendengar pertanyaanku kemudian menjawab, ”Kamu tak akan pernah mengerti ketegaran seorang perempuan yang tengah menanti, Rendi.”

Keluarga kami memang bukanlah keluarga yang kaya. Meski begitu, keluarga kami tidak pernah kekurangan dan tidak pernah mengalami masalah yang berat. Hingga suatu waktu Ayah jarang pulang ke rumah.

Sejak dulu, karena profesinya, Ayah memang sering meninggalkan rumah untuk waktu yang lama. Tetapi saat aku sudah beranjak kelas 3 SMA, Ayah jadi semakin sering tidak ada di rumah. Bila dia pergi, bisa sampai lebih dari dua minggu. Ayah hanya pulang untuk beberapa hari untuk kemudian pergi lagi.

Aku sempat curiga dengan perubahan ini. Saat kutanya, Ayah hanya menjawab,”Ini urusan pekerjaan, Ndi. Ayah semakin sibuk.” Entah kenapa aku sulit untuk percaya. Hingga kudengar kabar burung bahwa Ayah sebenarnya telah menikah lagi dengan seorang perempuan di daerah lain.

Aku terkejut setengah mati saat mendengar kabar itu. Saat itu Ayah sedang tidak ada di rumah. Ibu menyuruhku untuk tidak langsung percaya. Tetapi aku tahu bahwa Ibu sebenarnya juga gelisah memikirkan hal itu. Begitu Ayah pulang, ingin langsung kutanyakan kebenaran kabar tersebut. Tetapi Ibu melarangku. Beliau berkata bahwa beliau-lah yang akan memastikan.

Tetapi Ibu tidak kunjung bertanya. Saat kudesak, Ibu hanya menjawab,”Ibu belum menemukan saat yang tepat, Rendi,” Hingga suatu hari Ibu tiba-tiba jatuh sakit. Aku tidak tahu apa penyakit beliau, tetapi aku merasa bahwa Ibu menderita penyakit yang parah. Obat dari puskemas tak banyak membantu. Ingin kubawa Ibu ke rumah sakit, tetapi baik Ibu maupun aku tidak memiliki uang yang cukup. Saat aku ingin mencari keberadaan Ayah yang tak kunjung pulang, entah kenapa Ibu malah melarangku.

“Pada saatnya nanti, Ayah akan pulang , Rendi…” ucap Ibu lemah.

“Tapi kenapa, Bu…?”

“Rendi, kamu tak akan pernah mengerti ketegaran seorang perempuan yang tengah menanti,” ucap Ibuku lagi.

Dan kenyataannya aku memang tidak mengerti. Aku tidak mengerti mengapa Ibu bersikeras melarangku mencari Ayah. Apakah Ibu takut aku akan menemukan sesuatu? Aku juga tidak mengerti mengapa aku tidak bisa menghubungi ponsel Ayah untuk member kabar bahwa Ibu sakit. Tetapi aku mengerti satu hal. Adalah kesalahan Ayah ketika pada akhirnya Ibu meninggal. Dan Ayah tidak kunjung pulang.

Beberapa hari setelah pemakaman Ibu, Ayah tiba-tiba pulang. Dia pulang seolah-olah baru beberapa hari dia meninggalkan rumah. Padahal Ayah sudah pergi selama hampir tiga bulan. Aku tidak bercerita apa pun hingga Ayah akhirnya dengan entengnya bertanya,“Ibu di mana? Sedang ke pasar, ya?”

Dengan susah payah menahan perasaan emosi, aku menceritakan kematian Ibu kepada Ayah. Ayah tentu saja terkejut. Tetapi betapa kecewanya aku saat Ayah tidak langsung menanyakan di mana Ibu dimakamkan. Ayah malah masuk ke kamar dan menguncinya dari dalam.

Esoknya, tiba-tiba Ayah menawariku tinggal bersama pamanku di Jakarta untuk mencoba mencari pekerjaan. Saat itu aku memang belum lama lulus SMA dan belum memiliki pekerjaan tetap. Meski begitu, aku menangkap maksud lain dari tawaran Ayah.

“Ayah ingin menyingkirkanku sehingga Ayah bisa tinggal bersama istri baru Ayah?” ucapku sinis.

Ayah tampak terkejut mendengarku. Wajahnya seperti seorang pencuri yang baru tertangkap basah melakukan kejahatan. Juga mirip ekspresi anak SD yang ketahuan mengompol di celana. Aku juga sedikit terkejut melihatnya. Apakah Ayah mengira bahwa dia benar-benar bisa menyembunyikan hal itu dari aku dan Ibu?

“Kalau begitu, silakan saja tinggal bersama wanita murahan itu. Aku takkan mengganggu,” tambahku. Kuluapkan semua emosiku yang selama ini telah kupendam.

“Jangan kurang ajar kamu, Rendi!” Ayah juga tersulut emosinya.

Aku tak terlalu ingat persis bagaimana awalnya hingga kami berdua terlibat perkelahian. Suatu hal yang tak pantas dilakukan oleh seorang ayah dan anak, tentunya. Ketika Ayah mengambil asbak untuk memukulku, aku langsung mengangkat bangku kayu dan memukulkannya lebih dulu ke kepala Ayah. Aku tidak tahu setan mana yang merasuki diriku. Tanpa ampun kupukulkan kursi bangku itu ke tubuh Ayah berkali-kali hingga Ayah tidak lagi mengeluarkan suara.

Aku berhenti sambil terengah-engah kelelahan. Kutatap tubuh Ayah yang tergeletak di lantai. Tiba-tiba cairan merah kental mengalir di atas lantai dari tubuh Ayah. Cairan itu tak kunjung berhenti membuatku jantungku terasa berhenti. Langsung kuperiksa tubuh Ayah. Kemudian aku menyadari satu hal. Aku telah membunuh Ayah.

BERSAMBUNG DISINI

Humor Just Kidding Biasa

No comments :
ERROR ENGLISH

Paijo (bukan nama sebenarnya) yang baru belajar bahasa Inggris tanpa sengaja menabrak seorang bule ketika berjalan. Kemudian Paijo (masih bukan nama sebenarnya) pun menunjukkan ‘kemampuan bahasa Inggris’-nya.

PAIJO : I am sorry, Sir.

BULE : I am sorry, too.

PAIJO : (Nggak mau kalah) I am sorry three, Sir!

BULE : (Bingung) What are you say ‘sorry three’ for? (Untuk apa kamu mengucapkan ‘sorry three’?)

PAIJO : (Masih nggak mau kalah) I am sorry five, Sir!

BULE : (Tambah bingung) ‘Sorry five’? Are you sick?

PAIJO : I AM SORRY SEVEN, SIR!!!

BULE : ?????


CITA-CITA

Suatu sore, seorang Ibu dan anaknya tengah bercakap-cakap.

IBU : Nak, kalau kamu sudah besar, kamu ingin menjadi apa?

ANAK : Aku ingin jadi pramugari, Bu.

IBU : (Ketus) Tidak, kamu tidak boleh menjadi itu! Cari cita-cita lain!

ANAK : Kalau begitu... aku ingin jadi peragawati saja.

IBU : Apa?! Tidak boleh! Kamu tidak boleh jadi peragawati!

ANAK : Ya sudah... aku ingin bidan saja. Biar bisa bantu ibu-ibu yang akan melahirkan.

IBU : Itu tetap tidak boleh!

ANAK : (Sedih) Jadi pramugari tidak boleh... peragawati dan bidan juga tidak boleh... Apa Ibu ingin aku jadi ibu rumah tangga saja..?

IBU : (Marah) BEJO...!!! KAMU INI ANAK LAKI-LAKI! CARILAH CITA-CITA YANG NORMAL!!!


UJIAN

AYAH : Kalau kamu gagal lolos ujian masuk ini lagi, jangan anggap lagi aku ayahmu! Mengerti?!

ANAK : Baik, Yah.

Setelah penngumuman hasil ujian keluar...

AYAH : Nak, bagaimana hasil ujianmu?

ANAK : Maaf, anda siapa, ya?


VITAMIN

Seorang ibu tiba di apotek untuk membelikan vitamin bagi anaknya yang masih kecil.

IBU : Mbak, saya mau beli vitamin buat anak saya.

PENJUAL : Vitamiin apa, Bu? Vitamin A, B, atau C?

IBU : Mana saja boleh, Mbak... Anak saya belum bisa baca, kok.


GARA-GARA NONTON INFOTAINMENT

JONO : Katanya kemarin kamu buang air di celana, ya?

PAINO : Iya, nih. Gara-gara nonton infotainment.

JONO : Lho, apa hubungannya?

PAINO : Waktu itu aku ‘kan sedang asyik nonton infotainment di rumah. Sewaktu mau iklan, pembawa acaranya nggomong begini: ‘Jangan beranjak ke mana-mana, tetap di depan layar kaca anda.’ Ya udah aku nurut. Padahal waktu itu aku udah kebelet banget.

JONO : Dasar bego...!!!



SENYUM

DARNO : Hei, kamu lihat tidak? Tadi wanita cantik yang lewat itu tersenyum padaku!

JONO : Ah, itu sih biasa. Dulu pas pertama kali melihatmu, aku hampir mati ketawa!


KABAR BURUK

DOKTER : Pak, dengan berat hati harus saya sampaikan kabar buruk kepada Bapak.

PASIEN : (Cemas) Apa itu, Dok?

DOKTER : Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan terhadap anda, kami memperkirakan bahwa umur anda tidak akan lama lagi.

PASIEN : (Kaget) Apa?!

DOKTER : Ya... umur anda tinggal sepuluh....

PASIEN : (Memotong) Sepuluh apa, Dok?? Sepuluh bulan?? Sepuluh minggu?? Sepuluh hari??

DOKTER : ...sembilan...

PASIEN : (Panik sekaligus bingung) Apa....???

DOKTER : ... delapan... tujuh.... enam......

PASIEN : ....!#!@#$@!?!?!


HITUNG-HITUNGAN ORANG SAKIT JIWA

Seorang dokter di sebuah RSJ ( Rumah Sakit Jiwa ) tengah mengetes kewarasan tiga pasiennya untuk menentukan apakah mereka sudah boleh keluar dari RSJ atau belum. Dokter tersebut mengetes mereka dengan soal matematika sederhana.

DOKTER : Coba jawab, berapa lima dikali lima?

PASIEN 1 : Kelinci, Dok.

Pasien pertama gagal. Dokter lalu mengetes pasien kedua.

DOKTER : Lima kali lima itu berapa?

PASIEN 2 : 12 juta.

Pasien kedua juga gagal. Dokter mulai putus asa. Dengan pesimis dokter tersebut mengetes pasien terakhir.

DOKTER : Coba kamu, lima kali lima itu berapa?

PASIEN 3 : Dua puluh lima, Dok.

DOKTER : (Kaget sekaligus senang) Kamu benar! Selamat! Kamu sudah boleh pulang dari tempat ini.

PASIEN 3 : Terima kasih, Dok.

DOKTER : Kalau boleh tahu, dari mana kamu mendapatkan jawaban yang benar?

PASIEN 3 : Gampang, Dok. Caranya kelinci dikurangi 12 juta.

DOKTER : ???????


BOCAH VS NENEK-NENEK

Seorang bocah tengah berjalan sambil memakan roti yang ada di tangannya. Tanpa sengaja roti itu terjatuh ke jalan. Bocah itu lalu hendak mengambil kembali roti itu tetapi seorang nenek-nenek melihatnya.

NENEK : (Melarang) Rotinya jangan diambil, Nak. Biarkan saja.

BOCAH : Memangnya kenapa, Nek?

NENEK : Itu rotinya sudah kotor dan bau tanah. Tak usah diambil.

BOCAH : ‘Kan sayang, Nek...

NENEK : Terserah, dibilangin orang tua tidak percaya.

Bocah itu akhirnya tidak jadi mengambil roti miliknya dan melanjutkan berjalan. Begitu pula nenek-nenek tersebut. Tetapi tiba-tiba nenek tersebut terpeleset dan jatuh. Karena tempat itu sepi, nenek-nenek itu meminta bantuan kepada bocah tadi yang belum berjalan jauh.

NENEK : (Meminta tolong) Nak, tolong bantu saya berdiri.

BOCAH : Ah, buat apa? Udah kotor, bau tanah lagi...


PEREBUTAN ANAK

Di sebuah pengadilan agama, sepasang suami istri yang telah bercerai tengah menjalani persidangan memperebutkan hak asuh anak mereka. Masing-masing merasa berhak mengasuh anak mereka yang cuma satu.

HAKIM : (Kepada istri) Bu, apa yang membuat anda merasa berhak mengasuh anak ibu tersebut?

ISTRI : (Menangis) Pak Hakim... saya yang telah mengandung anak itu selama sembilan bulan... setelah itu, saya yang menyusuinya dan merawatnya... ketika dia mulai besar, saya juga yang sering menemaninya di rumah....

HAKIM : (Mempertimbangkan) Hmm... Baik, baik... (Beralih kepada suami) Sekarang giliran anda, Pak. Apa yang membuat anda merasa berhak mengasuh anak anda?

SUAMI : (Tenang) Begini, Pak. Bayangkan saya tengah berjalan-jalan. Di tengah jalan, saya menjumpai mesin penjual minuman. Saya lalu memasukkan uang koin milik saya ke mesin itu. Mesin itu bergoyang sebentar, kemudian keluarlah minuman. Sekarang saya mau tanya, pak. MINUMAN ITU MILIK SAYA ATAU MESIN PENJUAL MINUMAN?


BEGO, MATI, DAN OTAK

Ada tiga sahabat yang masing-masing bernama Bego, Mati, dan Otak. Mereka bertiga bermain petak umpet. Karena kalah suit, Bego yang jaga. Sedangkan Mati dan Otak bersembunyi.

Setelah mencari, akhirnya Bego berhasil menemukan Otak. Selanjutnya tinggal mencari si Mati. Tetapi karena tiba-tiba Otak kebelet BAB, dia pergi ke WC terdekat. Begomencari sendirian.

Di tengah pencarian, Bego menyeberang jalan tanpa lihat kiri kanan terlebih dahulu. Karena hal tersebut, dia hampir tertabrak truk yang melintas. Untung supir truk tersebut sempat mengerem. Tetapi si supir marah-marah kepada si Bego.

SUPIR : KAMU INI BEGO, YA?!

BEGO : Iya, Pak. Saya memang Bego.

SUPIR : KAMU LAGI CARI MATI, YA?!

BEGO : Ya, Pak. Saya memang tengah mencari Mati.

SUPIR : OTAK KAMU DI MANA SIH...???

BEGO : Otak masih di WC, Pak.

SUPIR : ??????????????


OBAT 1000 MACAM PENYAKIT

Di pasar seorang tukang obat keliling tengah menawarkan obat jualannya.

“Dijual, dijual! Obat ajaib, bisa menyembuhkan 1000 macam penyakit!”

Seorang ibu-ibu yang kebetulan lewat dan tengah terserang sebuah penyakit merasa tertarik, tetapi masih agak ragu. “Ini obat benar-benar manjur, Pak?” tanya ibu itu pada si penjual.

“Obat ini benar-benar mujarab, Bu. Bisa menyembuhkan 1000 macam penyakit,” jawab si penjual.

Akhirnya ibu tersebut membeli obat itu dan meminumnya di rumah. Tetapi setelah beberapa hari, penyakit yang diderita si ibu tak kunjung sembuh. Merasa ditipu, ibu itu mendatangi penjual obat yang dulu.

“Anda menipu saya ya?! Katanya obat ini bisa menyembuhkan 1000 macam penyakit! Tetapi nyatanya penyakit saya tak sembuh-sembuh!” ucap si ibu kepada si penjual obat sambil marah-marah.

Si penjual obat dengan dengan kalem menjawab,”Mungkin penyakit ibu itu penyakit ke-1001.”


Dari berbagai sumber