cerita itu perlu

Tuesday, March 17, 2015

Terperangkap Di Dalam Mesin Nilai: Vol. 1, p. 5

No comments :
Selepas sekolah aku dan gerombolanku, termasuk Intan, berkumpul di rental PS 2. Mungkin bukan hari keberuntungan kami, semua PS 2 di rental sudah di pesan. Dari sekian banyak PS di rental, rata-rata sudah dipesan minimal dua jam permainan. Akhirnya, kami bertujuh memutuskan untuk meninggalkan rental PS 2 tersebut.
“Terus kita mau kemana, masa langsung pulang?...” gelisah Dito.

“Lah emangnya mau kemana, mau cari rental lainnya?...” jawab Rudi sambil menstater motornya.

“Males banget kalo pulang langsung, ada yang punya saran ngga?...” tanya ku pada teman-temanku.

“Tan, kamu ada saran ngga?... Mungkin kamu tahu tempat menarik, ya apa lah terserah kamu...” Fajar yang sedari tadi berdiri di dekat Intan malah melempar pertanyaanku khusus kepada Intan.

“Yaa... Hehe... Aku ngga tahu tempat yang menarik, aku kan baru beberapa bulan disini...” jawab Intan.

Semua anak saling pandang, menggambarkan kebingungan mereka. Jafar dan Sulaiman beranjak menuju sepeda motornya.

Rudi sudah mulai memasukkan gigi motornya. Dito masih berdiri kecewa, terlihat wajahnya yang suram. Rencana untuk tidak pulang langsung sepertinya gagal.

“Hai... Lebih baik kita cari tempat makan atau tempat minum es, lagi pula kan niatnya kita mau main dulu sehabis sekolah, masa langsung pulang?... He...”

Melihat teman-teman barunya memutuskan untuk pulang, Intan memberi saran kepada kami. Mungkin dia merasa segan kepada kami, dan khususnya kepada Fajar yang berharap saran kepada Intan.

“Iya bener, bener kata Intan... Dari pada langsung pulang mending kita ngobrol-ngobrol dulu sambil minum es... Ada yang tahu penjual es yang enak?...”

Jelas Dito sumringah.

“Aku kira kamu tahu penjual es yang enak Dit, ternyata cuma...”

“Aku tahu penjual es yang enak, tempatnya di sebelah selatan sekolah, depan lapangan bola...” Sulaiman memotong protesku kepada Dito.

“Ok, ayo kita berangkat kesana,...” Senyum lebar Intan membuatku merasa tenang.

“Kamu mau dibonceng siapa In?” tanya Fajar kepada Intan.

Tiba-tiba Dito menarik setang sepedaku dan menarik bahuku mendekati Intan.

“Ya sama Bayu lah,... Iya ngga?...” Dito memandangi semua temannya, namun hanya wajah Fajar yang merengut.

“Aku...”

“Oke deh aku sama Bayu...” dengan terseyum kepadaku Intan mendekatiku.

“Ngga ingin dibonceng motor saja Tan?

"Emang ban sepadamu gembos apa?..."

"Ngga juga si..."

Teman-temanku sudah melaju dengan motorku, kecuali Fajar masih saja duduk di atas motornya memandangi aku dan Intan. Sepertinya Fajar merasa kecewa tidak membonceng Intan.

"Ayo Bay..." ajak Intan.

Di kelompokku hanya aku saja yang memakai sepeda, yang lain memakai motor untuk berangkat ke sekolah. Intan sendiri juga memakai motor, lebih tepatnya dia di antar oleh kakaknya memakai motor.

"Bukannya kemarin kamu pakai motor Bay?..."

Intan bertanya kepadaku di temanni suara derik sepedaku.

"Oh iya, kemarin aku takut terlambat, jadi aku bawa motor..."

"Oh... begitu ya, memangnya rumahmu jauh Bay?...

"Lumayan jauh, sekitar tiga petempat jam kalau naik sepeda. Rumahmu jauh In? Tiap hari kamu di antar kakakmu?..."

"Sebenarnya sih tidakterlalu jauh. Kalau berjalan kaki mungkin sekitar empat puluh menit..."

"Kenapa tidak pakai sepeda saja...he..."

"Kepinginnya sih, tapi Ibuku sepertinya masih takut melepasku, soalnya aku masih baru di kota ini..."

"Ohh..."

"Oke lah besok aku tanyakan Ibuku, mungkin aku diperbolehkan...hehe..." Intan tersenyum lebar, walaupun aku tak bisa melihat wajahnya aku bisa merasakannya.
-o0o-

Ternyata es yang dimaksud oleh Sulaiman adalah es kelapa muda, memang pas untuk menghilangkan rasa panas siang hari ini. Tempatnya juga sangat strategis, di depan lapangan bola dan di bawah pohon-pohon rindang di pinggir jalan aspal. Penjualnya adalah seorang wanita paruh baya, mungkin umurnya sekitar empat puluh lima an tahun.

“Bu pesan es kelapa mudanya untuk tujuh orang...” Sulaiman memesan es kelapa muda untuk kami.

Kami duduk di bangku kayu di samping gerobak es kepala muda di bawah pohon rindang besar yang tak ku tahu namanya. Tepat di depan bangku kayu itu motor teman-temanku dan sepedaku di parkir. Intan terlihat bingung memilih tempat untuk duduk, sepertinya dia tidak terbiasa duduk di antara anak laki-laki. Dia memilih duduk di sepedaku.

Melihat Intan tidak duduk di bangku kayu, sebuah kode diberikan oleh Jafar kepada kami. Semua anak laki-laki berdiri dan berpindah tempat duduk di jok motor.

“Eh kenapa kalian berdiri, santai saja... Ga apa-apa aku di sini saja...”

“Kamu kan tamu disini masa didiskriminasika begitu... Haha...” Sulaiman tertawa mengatakan diskriminasi, Dito menyenggol badan Sulaiman. Sulaiman berhenti tertawa.

“Sekarang kamu bisa duduk di bangku itu Tan...”Dito mempersilahkan Intan untuk berpindah tempat.

“Loh ko sekarang aku yang duduk di sana, ya udah di sini aja bareng kalian...”

“Takutnya kamu nanti titanes kena karat sepedanya Bayu...haha...”

“Sialan kenapa Rudi malah mempersalahkan sepedaku.

“Haha... Ngga mungkin lah, sepedanya kelihatannya di rawat baik-baik...”

“Yes... Intan mendukung sepedaku.

Akhirnya Intan duduk di kursi kayu sendiri. Dito mendorongku dari motornya, sehingga aku goyah ketika bersandar di jok belakang motornya.

“Ngapain kamu masih disini. Sana kamu temenin Intan. Kamu kan yang bawa kesini masa di biarin sendiri?...”

“Hah... Aku... Intan...”

“Sialan kamu Dit...

Akhirnya Intan tidak duduk di kursi kayu sendiri. Dito memaksaku untuk duduk dengan Intan.

“Mas... ini es nya sudah jadi...”

“Terimakasih bu,...” jawab kami bersamaan.

Fajar membawa es kelapa muda kepada Intan, lalu duduk kembali di motornya yang tepat berada di depanku dan Intan. Laki-laki yang malang.

Sruttt....

“Bagaimana, segar bukan... ini tempat langgananku...” Sulaiman berbangga diri.

“Sip... bisa dijadikan tempat nongkrong kita besok!...” Jafar mengangkat gelas seolah ingin mengajak kami tos gelas.

Semuanya diam, menghayati tegukan-demi tegukan es kelapa muda. Suasana ramai yang beberapa detik tadi terjadi berubah menjadi begitu sunyi, sunyi senyap. Memang benar, es kelapa muda ini begitu segar, bisa di bilang nilainya delapan koma lima. Racikan gula yang digunakan begitu pas, menggunakan gula merah asli bukan gula sakarin.

“Hmmm.... aku habis duluan... kalian semua kalah...” Dito tiba-tiba berbicara.

terperangkap dalam mesin nilai“Wah... aku ga salah bawa kalian kesini...” Sulaiman terlihat begitu bahagia dan bangga.

“Menurutmu bagaimana Tan, es nya kamu kasih nilai berapa kalau maksimal sepuluh?...” Fajar bertanya kepada Intan dengan tampang terganteng yang bisa dia tunjukan.

“Sepuluh dong...”

“Kamu baru berapa bulan di sekolah ini Tan?...” tanya Rudi.

“Sekitar... hmm... tiga bulanan sepertinya...”

“Ternyata sudah lumayan lama ya... Tiga bulan... Wah Bay kamu udah telat tiga bulan berarti... Haha?...”

“Maksudmu...” timpalku.

“Ya sudah Bay kalo ngga mudeng,... Ngomong-ngomong critain dong temen-temenmu di kelas X1 Tan?...”

“Temen-temenku ya Rud?...”

Wajah Intan tiba-tiba berubah, nada katanya seolah berat untuk menjawab pertanyaan Rudi. Intan terdiam cukup lama, seolah sedang berfikir keras dengan senyuman yang resah.

Tiba-tiba Intan menyenggol kakiku dengan sepatunya, sehingga sepatuku dan sepatu Intan bersentuhan. Sepertinya Intan sedang memberi suatu kode. Aku melirik wajahnya, memang terlihat begitu kental suasana resah di wajahnya.

Intan berbisik pelan kepadaku, “Bay... Sebenarnya di kantin tadi aku mau cerita soal teman-temanku... Duh gimana nih...” suara Intan pelan, berusaha tidak terdengar yang lainnya.

“Ohhh... Jadi...”

“Shht.... Jangan keras-keras...”

“Rahasiamu itu?...”

Intan mengangguk.

Entah setan apa yang datang kepadaku saat itu, rasa penasaranku begitu besar kepada rahasia yang dimiliki oleh Intan. Jika aku harus menunggu waktu tepat agar Intan hanya bisa memberi tahuku saja, atau kata lainnya ada kesempatan kita berduaan (mungkin istilah ini terlalu berlebihan), itu terlalu lama.

“Bener kamu Rud, cerita dong Tan!!!...” suaraku keras.

Intan sekarang benar-benar terlihat ingin membunuhku. Tatapan matanya tajam seperti pisau dapur kepadaku.

Sepatu Intan kembali menyenggol-nyenggol sepatuku, sampai tiga kali. Dia berusaha memberi kode darurat untuk tidak meneruskan provokasiku.

Yah, tapi aku juga penasaran, lagi pula aku merasa tidak ingin menyimpan rahasia apapun kepada teman-temanku. Percuma jika Intan bercerita sesuatu dan memintaku merahasiakan kepada temanku.

Suatu saat pasti teman-temanku itu memaksaku membocorkannya, karena jargon mereka 'tak ada rahasia diantara kita.' Jargon yang begitu dalam, tapi terkadang aku pun tertawa jika mengingat ketika kami semua berjanji. Seperti di sinetron-sinetron abg-abg sekarang ini.

TUNGGU KELANJUTANNYA YA

Ketika aku mulai membuka mulut kembali, mata Intan begitu tajam melototiku. akhirnya aku pun...



 (PEMBACA YANG BAIK, JADI LEBIH BAIK KALAU MENINGGALKAN KOMENTAR)

No comments :

Post a Comment