cerita itu perlu

Tuesday, March 17, 2015

Pindahan: Vol. 1, p.3.1

No comments :
Bel sekolah bordering nyaring, menandakan waktu istirahat kedua dimulai. Gerombolanku bergerak menuju kantin sekolah, memberi isi perut yang mengerang-erang kelaparan. Suasana begitu riuh, berebut posisi antri mendapat nasi. Di kantin sekolahku hanya ada dua penjual saja, pertama emak Surti yang sayurnya khas berkuah, sedang yang kedua adalah emak Siti yang gorengannya sangat digemari di lingkungan sekolah. Kedua tokoh tersebut adalah pahlawan, pahlawan tanpa tanda jasa, seperti halnya guru (itu menurut sebagian anak kelasku yang doyan makan).

Ditengah riuhnya suasana saling berdesakan mendapat makan siangnya, terlihat Intan yang kebingungan di belakang kerumunan anak-anak lain. Wajahnya resah, mondongak-dongakan kepala seperti orang telat datang ke konser sehingga kebagian di belakang.

“Eh… ada Intan itu…” wajah Fajar merona-rona.

“Mana-mana…” Sulaiman celingukan mencari

“Itu…itu yang disana… yuk kita godain…” Fajar semakin merona-rona, sambil menunjuk posisi Intan.

“Kamu mau nggasak bidadarinya Om Bayu… Ini…lihat…” Rudi dengan menunjukkan tinjunya kepada Fajar.

“Hoe… siapa yang OM-OM… terus apa hubungannya aku sama Intan…”

“Uwis, pokoknya kita dukung Intan buat kamu, hahahaha….” Jafar masuk perbincangan dan langsung mengajak tos semua anak-anak. Ketika tiba bagian tos denganku, aku singkap tangannya.

Tiba-tiba saja Fajar sudah maju menuju Intan berada, tanpa teman-teman yang lain sadari. Dito yang sedari tadi diam saja, juga datang mendekati mereka berdua. Tapi ternyata Dito tidak menuju Intan, tetapi malah menarik Fajar menjauhkan dari Intan.

Melihat aksi Dito kepada Fajar, sontak Jafar, dan Rudi membantu Dito menarik Fajar. Sulaiman menarik-narik aku menuju Intan. aku berusaha menolak, tapi apa daya aku melihat betapa bahagia teman-temanku memperlakukan aku seperti ini. Fajar berhasil disingkirkan oleh mereka dan di bawa ke kantin sebelah, tepatnya kantin emak Surti. Sembari pergi dengan Fajar sebagai tangkapannya mereka memberi kode-kode intruksi kepadaku untuk menemani Intan.

Dengan wajah kebingungan Intan menatapku, wajah kebingungan dengan bumbu muka cengar-cengir memang lucu. Aku berjalan meninggalkannya menuju tempat piring-piring di tata rapi. Intan malah membuntutiku.

“Bay… bantuin aku beli nasi sayur….” Intan memasang wajah memelas.

“Bantuin gimana?… Ya tinggal beli aja, susah amat…”

“Susah banget deh,… itu antrinya…” kembali dengan wajah memelas.

“Ya tinggal antri seperti biasa kamu ke kantin… jangan sok bodoh begitu…!!!...”

“Siapa yang sok bodoh… kantin disini beda dengan kantinku yang biasanya… antrinya itu,… grrr… ini bukan antri namanya, tapi berebut..” alasannya panjang lebar.

“Kantinmu?....”

“Iya… kantinku dulu rapi, semua anak antri mengambil makanan dengan tertib, tapi ini… akhhh… menyusahkan…” jelasnya dengan penuh semangat.

“Apa kamu sedang menghayal?... di sekolah ini kantin hanya dua, dan itu juga bersebelahan… yang mana kantinmu itu???...”

“Yang…”

“Yang ada dalam khayalanmu… khayalan kantin tertib itu?... lebih baik kamu bangun dari tidurmu dan mulai berebut perhatian emak…” aku memotong perkataannya dengan sedikit nada tinggi.

“Berebut perhatian emak? Emak itu apa?...” dia pasang wajah bodoh.

“Emak itu tepung terigu kasih telor!!!!.... emak ya emak lah...”

“Ini piring… kamu ambil lauk dulu, terus kamu teriak-teriak memohon kaya yang lainnya… lihat itu… “emak… nasi sama sayur… nasi sayur aku belum”… klo perlu kamu bertengkar mulut agar didahukan dapat nasi… klo perlu kamu teriak-teriak pesan makanan sama pegang duitnya, biasanya emak lebih suka ngelayanin anak yang sudah bawa duit di tangannya… terus juga…”

“Cukup-cukup… Oke-oke aku ngerti…” dia memotong kultumku.

“Huft… sekolah yang ribet…” celotehnya pelan.

Intan bergerak mendekati kerumunan antrian rebut itu. Melakukan hal yang aku jelaskan tadi, dengan cara yang kaku. Ini adalah kantin yang penuh dengan omelan, pertama tentu saja omelan para palanggannya yang kelaparan, yang kedua omelan emak Siti, mencak-mencak menyuruh anak-anak sabar.

Melihat Intan berjuang menghilangkan hasrat kelaparannya, aku jadi kasihan. Dia terlihat sangat kaku ketika berteriak memohon dilayani oleh emak Siti. Teriakannya hanya kata “Emak”… “Makan”…”Emak”... “Makan”. Terdengar memalukan.

Aku mendekati Intan dan merebut piring yang diatasnya baru ada sepotong kepala ayam.

“Eh… Eh… ngapain kamu… sini piringnya… aku belum dapat makannya !!!...” protesnya galak kepadaku.

Piring itu aku angkat tinggi-tinggi, badannya yang tingginya tidak lebih dari kupingku kesusahan menggapainya.

“Udah biar aku saja yang pesan… bodoh…” kataku kepadanya.

“Siapa yang bodoh… kamu yang bodoh tau… iya, tapi kalo mau bantuin, aku ga keberatan… hahahaha (ketawa jahat)…”

“Minggir… lihat aku…”

“Oke…” dia cengar-cengir.

-o0o-

Setelah mendapatkan sepiring nasi sayur dan lauknya, aku dan Intan mencari tempat duduk yang kosong. Tapi sialnya semua kursi penuh, akhirnya kami memutuskan makan sambil berjongkok di belakang kelas XI 2, dengan kaum-kaum yang memiliki nasib sama dengan kami. Kantin sekolah kami sangat sempit, warung kira-kira hanya seukuran 3 x 6 meter, dan posisinya yang berada di belakang kelas juga tidak menyediakan tempat yang luas untuk meja kursi makan. Bagi yang tidak mendapat meja makan biasanya akan makan dengan jongkok di belakang deretan kelas XI.

Aku melihat Intan memakan makanannya terlewat lahap. Aku melihat dia tidak seperti anak-anak kelas X1 yang lainnya. Jauh berbeda, cara dia berkomunikasi dengan orang lain, dan tidak bersikap dingin layaknya kelas X1 yang ku pahami.

“Makannya pelan-pelan… nanti cegukan…”

“Aappa… huq…huq…huq…” sepertinya karena seruanku dia malah benar-benar cegukan.

“Huq… gara…huq…gara kamu… sih…huq… air huq… cepeettt…”

Dia menenggak habis air putih yang kuambilkan, air putih di kantin gratis dan mengambil sendiri. Disediakan gelas dari plastic dan dua buah dispenser.

“AAAHHHHH…. lega”

“Jangan lebar-lebar mulutmu… BAU… dasar cwe aneh…”

“Mmmaaf… ternyata makan dikantin ini sambil jongkok enak juga ya, aku tidak pernah melakukannya di sekolahku yang sebelumnya…”

“Saat SMP?...” Tanya ku.

“Bukan!” menenggak air putih.

“Di SMA” dia menenggak air putih lagi.

“Ini bukan gelasmu...” aku merebut gelasku darinya.

“Mmmmaafffhhh…hehe” ketawa jahat.

“Jadi kamu anak baru pindah ke SMA ini?”

“Iya benar, aku anak pindahan, karena ayahku pindah kerja di kota ini”

Menenggak air putih lagi.

“Ini bukan gelasmu, bodoohh…”

“Menyebalkan sekali aku harus mendapat kelas di kelas X1…”

Aku terkejut dengan apa yang barusan dia katakana.

“Bukannya itu keberuntungan?”

“Beruntung? Mungkin bagi kamu yang tidak berada di kelas itu mengatakan beruntung…”

“Bagaimana tidak beruntung, banyak anak yang bermimpi menjadi pintar dan ditempatkan di kelas unggulan itu…” pendapatku.

“Jadi begini yang terjadi di kelas X1, aku akan membeberkan rahasianya… tapi kamu jangan cerita ke siapa-siapa, termasuk gerombolanmu itu… ok!!!...”

Aku mengangguk.

“Janji?...”

“Iya…”

“Oke jadi begini sebenarnya yang terjadi di dalam kelas X1, semoga setelah kamu mendengarnya kamu bisa berhenti berfikir masuk kelas X1 adalah keberuntungan…”

Dia mulai menceritakan dengan suara pelan dan rendah, wajahnya seolah menyimpan kesedihan saat menceritakan alasannya.

“Jadi keadaan di kelas X1 itu… hmmm…”

“Kapan mulai masuk ke cerita… sudah 4 kali kamu bilang jadi-jadi terus… dasar cwe jadi-jadian…”

“AKHHCCC…” ternyata jewerannya lumayan juga.

“Jadi begini keadaan di dalam kelas X1… mereka selalu saja….”

“Tttrreeettttt,…. “ suara Bel sekolah tanda istirahat habis telah berbunyi.

“Haduh… ceritanya lanjutin besok saja ya???... aku harus masuk kelas sekarang!...”

Intan berlari meninggalkanku dengan meninggalkan sederet pertanyaan, “Apa kelanjutan dari cerita Intan yang di awali dengan kata JADI….


No comments :

Post a Comment