ceritakansaja.com

cerita itu perlu

Tuesday, March 17, 2015

Terperangkap Di Dalam Mesin Nilai: Vol. 1, p. 5

No comments :
Selepas sekolah aku dan gerombolanku, termasuk Intan, berkumpul di rental PS 2. Mungkin bukan hari keberuntungan kami, semua PS 2 di rental sudah di pesan. Dari sekian banyak PS di rental, rata-rata sudah dipesan minimal dua jam permainan. Akhirnya, kami bertujuh memutuskan untuk meninggalkan rental PS 2 tersebut.
“Terus kita mau kemana, masa langsung pulang?...” gelisah Dito.

“Lah emangnya mau kemana, mau cari rental lainnya?...” jawab Rudi sambil menstater motornya.

“Males banget kalo pulang langsung, ada yang punya saran ngga?...” tanya ku pada teman-temanku.

“Tan, kamu ada saran ngga?... Mungkin kamu tahu tempat menarik, ya apa lah terserah kamu...” Fajar yang sedari tadi berdiri di dekat Intan malah melempar pertanyaanku khusus kepada Intan.

“Yaa... Hehe... Aku ngga tahu tempat yang menarik, aku kan baru beberapa bulan disini...” jawab Intan.

Semua anak saling pandang, menggambarkan kebingungan mereka. Jafar dan Sulaiman beranjak menuju sepeda motornya.

Rudi sudah mulai memasukkan gigi motornya. Dito masih berdiri kecewa, terlihat wajahnya yang suram. Rencana untuk tidak pulang langsung sepertinya gagal.

“Hai... Lebih baik kita cari tempat makan atau tempat minum es, lagi pula kan niatnya kita mau main dulu sehabis sekolah, masa langsung pulang?... He...”

Melihat teman-teman barunya memutuskan untuk pulang, Intan memberi saran kepada kami. Mungkin dia merasa segan kepada kami, dan khususnya kepada Fajar yang berharap saran kepada Intan.

“Iya bener, bener kata Intan... Dari pada langsung pulang mending kita ngobrol-ngobrol dulu sambil minum es... Ada yang tahu penjual es yang enak?...”

Jelas Dito sumringah.

“Aku kira kamu tahu penjual es yang enak Dit, ternyata cuma...”

“Aku tahu penjual es yang enak, tempatnya di sebelah selatan sekolah, depan lapangan bola...” Sulaiman memotong protesku kepada Dito.

“Ok, ayo kita berangkat kesana,...” Senyum lebar Intan membuatku merasa tenang.

“Kamu mau dibonceng siapa In?” tanya Fajar kepada Intan.

Tiba-tiba Dito menarik setang sepedaku dan menarik bahuku mendekati Intan.

“Ya sama Bayu lah,... Iya ngga?...” Dito memandangi semua temannya, namun hanya wajah Fajar yang merengut.

“Aku...”

“Oke deh aku sama Bayu...” dengan terseyum kepadaku Intan mendekatiku.

“Ngga ingin dibonceng motor saja Tan?

"Emang ban sepadamu gembos apa?..."

"Ngga juga si..."

Teman-temanku sudah melaju dengan motorku, kecuali Fajar masih saja duduk di atas motornya memandangi aku dan Intan. Sepertinya Fajar merasa kecewa tidak membonceng Intan.

"Ayo Bay..." ajak Intan.

Di kelompokku hanya aku saja yang memakai sepeda, yang lain memakai motor untuk berangkat ke sekolah. Intan sendiri juga memakai motor, lebih tepatnya dia di antar oleh kakaknya memakai motor.

"Bukannya kemarin kamu pakai motor Bay?..."

Intan bertanya kepadaku di temanni suara derik sepedaku.

"Oh iya, kemarin aku takut terlambat, jadi aku bawa motor..."

"Oh... begitu ya, memangnya rumahmu jauh Bay?...

"Lumayan jauh, sekitar tiga petempat jam kalau naik sepeda. Rumahmu jauh In? Tiap hari kamu di antar kakakmu?..."

"Sebenarnya sih tidakterlalu jauh. Kalau berjalan kaki mungkin sekitar empat puluh menit..."

"Kenapa tidak pakai sepeda saja...he..."

"Kepinginnya sih, tapi Ibuku sepertinya masih takut melepasku, soalnya aku masih baru di kota ini..."

"Ohh..."

"Oke lah besok aku tanyakan Ibuku, mungkin aku diperbolehkan...hehe..." Intan tersenyum lebar, walaupun aku tak bisa melihat wajahnya aku bisa merasakannya.
-o0o-

Ternyata es yang dimaksud oleh Sulaiman adalah es kelapa muda, memang pas untuk menghilangkan rasa panas siang hari ini. Tempatnya juga sangat strategis, di depan lapangan bola dan di bawah pohon-pohon rindang di pinggir jalan aspal. Penjualnya adalah seorang wanita paruh baya, mungkin umurnya sekitar empat puluh lima an tahun.

“Bu pesan es kelapa mudanya untuk tujuh orang...” Sulaiman memesan es kelapa muda untuk kami.

Kami duduk di bangku kayu di samping gerobak es kepala muda di bawah pohon rindang besar yang tak ku tahu namanya. Tepat di depan bangku kayu itu motor teman-temanku dan sepedaku di parkir. Intan terlihat bingung memilih tempat untuk duduk, sepertinya dia tidak terbiasa duduk di antara anak laki-laki. Dia memilih duduk di sepedaku.

Melihat Intan tidak duduk di bangku kayu, sebuah kode diberikan oleh Jafar kepada kami. Semua anak laki-laki berdiri dan berpindah tempat duduk di jok motor.

“Eh kenapa kalian berdiri, santai saja... Ga apa-apa aku di sini saja...”

“Kamu kan tamu disini masa didiskriminasika begitu... Haha...” Sulaiman tertawa mengatakan diskriminasi, Dito menyenggol badan Sulaiman. Sulaiman berhenti tertawa.

“Sekarang kamu bisa duduk di bangku itu Tan...”Dito mempersilahkan Intan untuk berpindah tempat.

“Loh ko sekarang aku yang duduk di sana, ya udah di sini aja bareng kalian...”

“Takutnya kamu nanti titanes kena karat sepedanya Bayu...haha...”

“Sialan kenapa Rudi malah mempersalahkan sepedaku.

“Haha... Ngga mungkin lah, sepedanya kelihatannya di rawat baik-baik...”

“Yes... Intan mendukung sepedaku.

Akhirnya Intan duduk di kursi kayu sendiri. Dito mendorongku dari motornya, sehingga aku goyah ketika bersandar di jok belakang motornya.

“Ngapain kamu masih disini. Sana kamu temenin Intan. Kamu kan yang bawa kesini masa di biarin sendiri?...”

“Hah... Aku... Intan...”

“Sialan kamu Dit...

Akhirnya Intan tidak duduk di kursi kayu sendiri. Dito memaksaku untuk duduk dengan Intan.

“Mas... ini es nya sudah jadi...”

“Terimakasih bu,...” jawab kami bersamaan.

Fajar membawa es kelapa muda kepada Intan, lalu duduk kembali di motornya yang tepat berada di depanku dan Intan. Laki-laki yang malang.

Sruttt....

“Bagaimana, segar bukan... ini tempat langgananku...” Sulaiman berbangga diri.

“Sip... bisa dijadikan tempat nongkrong kita besok!...” Jafar mengangkat gelas seolah ingin mengajak kami tos gelas.

Semuanya diam, menghayati tegukan-demi tegukan es kelapa muda. Suasana ramai yang beberapa detik tadi terjadi berubah menjadi begitu sunyi, sunyi senyap. Memang benar, es kelapa muda ini begitu segar, bisa di bilang nilainya delapan koma lima. Racikan gula yang digunakan begitu pas, menggunakan gula merah asli bukan gula sakarin.

“Hmmm.... aku habis duluan... kalian semua kalah...” Dito tiba-tiba berbicara.

terperangkap dalam mesin nilai“Wah... aku ga salah bawa kalian kesini...” Sulaiman terlihat begitu bahagia dan bangga.

“Menurutmu bagaimana Tan, es nya kamu kasih nilai berapa kalau maksimal sepuluh?...” Fajar bertanya kepada Intan dengan tampang terganteng yang bisa dia tunjukan.

“Sepuluh dong...”

“Kamu baru berapa bulan di sekolah ini Tan?...” tanya Rudi.

“Sekitar... hmm... tiga bulanan sepertinya...”

“Ternyata sudah lumayan lama ya... Tiga bulan... Wah Bay kamu udah telat tiga bulan berarti... Haha?...”

“Maksudmu...” timpalku.

“Ya sudah Bay kalo ngga mudeng,... Ngomong-ngomong critain dong temen-temenmu di kelas X1 Tan?...”

“Temen-temenku ya Rud?...”

Wajah Intan tiba-tiba berubah, nada katanya seolah berat untuk menjawab pertanyaan Rudi. Intan terdiam cukup lama, seolah sedang berfikir keras dengan senyuman yang resah.

Tiba-tiba Intan menyenggol kakiku dengan sepatunya, sehingga sepatuku dan sepatu Intan bersentuhan. Sepertinya Intan sedang memberi suatu kode. Aku melirik wajahnya, memang terlihat begitu kental suasana resah di wajahnya.

Intan berbisik pelan kepadaku, “Bay... Sebenarnya di kantin tadi aku mau cerita soal teman-temanku... Duh gimana nih...” suara Intan pelan, berusaha tidak terdengar yang lainnya.

“Ohhh... Jadi...”

“Shht.... Jangan keras-keras...”

“Rahasiamu itu?...”

Intan mengangguk.

Entah setan apa yang datang kepadaku saat itu, rasa penasaranku begitu besar kepada rahasia yang dimiliki oleh Intan. Jika aku harus menunggu waktu tepat agar Intan hanya bisa memberi tahuku saja, atau kata lainnya ada kesempatan kita berduaan (mungkin istilah ini terlalu berlebihan), itu terlalu lama.

“Bener kamu Rud, cerita dong Tan!!!...” suaraku keras.

Intan sekarang benar-benar terlihat ingin membunuhku. Tatapan matanya tajam seperti pisau dapur kepadaku.

Sepatu Intan kembali menyenggol-nyenggol sepatuku, sampai tiga kali. Dia berusaha memberi kode darurat untuk tidak meneruskan provokasiku.

Yah, tapi aku juga penasaran, lagi pula aku merasa tidak ingin menyimpan rahasia apapun kepada teman-temanku. Percuma jika Intan bercerita sesuatu dan memintaku merahasiakan kepada temanku.

Suatu saat pasti teman-temanku itu memaksaku membocorkannya, karena jargon mereka 'tak ada rahasia diantara kita.' Jargon yang begitu dalam, tapi terkadang aku pun tertawa jika mengingat ketika kami semua berjanji. Seperti di sinetron-sinetron abg-abg sekarang ini.

TUNGGU KELANJUTANNYA YA

Ketika aku mulai membuka mulut kembali, mata Intan begitu tajam melototiku. akhirnya aku pun...



 (PEMBACA YANG BAIK, JADI LEBIH BAIK KALAU MENINGGALKAN KOMENTAR)

Mereka di Mata Guru-Guru: Vol. 1, p. 4

1 comment :
Intan berlari meninggalkanku, sedangkan teman-temanku yang tadi memisahkan diri dariku belum terlihat keluar dari warung emak Surti. Suara tertawa mereka masih terdengar jelas dan keras, aku putuskan untuk menghampirinya.

“Wah…. Sialan kalian, main misah segala,… Yuk kekelas…”

“Lah entar lah, nunggu bel buyi,… srruuttt”

Dito dengan santainya menyeruput sisa kuah sotonya.

“Ngapain juga di kelas kalau belum masuk Bay… iya ngga Rud?...”

“He ekhmm…”

“Sudah Bell masuk, Ndes… !!!”

“Hahh… yang bener Bay?”

Fajar tersentak.

“Makanya kalo ngobrol jangan kaya orang demo…” bentak aku.

“Yo… ayo kekelas…” ajak Sulaiman.

“Bentar… aku belum bayar…” tahan Jafar.

Kami berlima berjalan menuju kelas, Fajar begitu semangat karena akan melewati kelas X1.

“Ngomong-ngomong si Intan kalau dari luar kelas kelihatan ngga ya?...”

“Udah deh Jar… kamu ikhlasin ke Bayu kenapa,… nah itu si Nurul Jar… lihat ngga, itu loh….” Teriak Sulaiman kepada Fajar.

“Nurul… hah… Nurul?? kalo kamu mau aku ga halangin Man…”

“Marah… gitu aja marah… Jar Nurul manggil kamu itu…”

“Mana?...”

“Haha… katanya ga ngarep…?”

“Sial kamu Man…”

Nurul adalah cwe kelas X4 yang sepertinya suka dengan Fajar, beberapa kali aku dan teman-teman memperhatikan si Nurul sering curi pandang kepada Fajar. Tapi Fajar seperti tidak mau tahu, dia selalu berusaha menghindar dari Nurul. Karena Fajar selalu menghindar dari Nurul, akhirnya kami selalu menggodanya jika ada Nurul. Dan mungkin begitupun yang teman-teman lakukan kepadaku dengan Intan. demi kepuasaanya mereka menjodoh-jodohkan dengan Intan. memang terkadang terasa menyebalkan, tapi aku juga menikmatinya.

Kami tiba di depan kelas X1, wajah Fajar celingukan mencari-cari tempat duduk Intan dari luar jendela kelas.

“Hoe… dasar bodoh… bikin malu aja dikelas orang celingukan…” teriak Rudi sambil menarik Fajar yang tertinggal dari gerombolan kami.

“Nah itu… Intan.. haha akhirna ketemu juga tempat duduknya…” kata Fajar bersemangat.

“Eh… mangkanya kelas X1 jadi kelas favorit ya… lihat aja tenang banget…”

Jafar yang dari tadi diam mulai berbicara dengan satu topic menarik yang ditawarkan.

“Untung kita ga disana ya Far? Bayangin saja, reputasi kelas favorit mereka pasti akan hancur kalau kita masuk kelas sana…” Sulaiman menanggapi pernyataan Jafar.

“Apa iya Man… coba aku balik kesana sekarang…”

Jafar berbalik arah namun langsung ditahan oleh Dito.

“Bodoh… bodoh… maksudnya si Sulaiman, kalau kamu diterima masuk ke kelas X1… bukannya masuk kelasnya…”

Jafar cengar-cengir mendengar Dito membodoh-bodohkannya.

“Jam terakhir ini mata pelajarannya apa ya Bay?”

“Fisika”

“Fisika ya… HAH…? Fiska? Aku belum ngerjain PR yang kemarin…”

Semua melihat Sulaiman yang terkejut dengan jawabanku.

“Aku juga belum Man… gimana ini!!!...”

Wajah Rudi lebih kebingungan.

“Haduh aku juga…”

“Kamu juga belum Far?” Tanya Dito.

“Belum Dit… kamu sudah Bay?”

“Udang dong…”

“Sipp… aku juga udah…” kata Dito.

“Toss boss…” Jafar mengajak tos aku dan Dito karena sama-sama sudah mengerjakan.

Jafar melempar pandangan kepada Sulaiman yang sedang bingung. Meneupuk pundaknya.
“Sudah tenang… salin aja milikku Man…”

“Ayo cepet keburu Bu Dyah masuk ke kelas...”

Sulaiman mendorong Jafar untuk cepat-cepat menuju kelas. Rudi dan Fajar keduanya bergantian memandang aku dan Dito.

“Kalian ga nawarin bantuan sama kita?...”

Fajar hanya mengangguk menguatkan pertanyaan Rudi kepadaku dan Dito.

“Dasar kalian… ya udah ayo…”

Kami berempat langsung mempercepat laju kaki kami menuju kelas.

Beberapa anak kelas X4 yang berada di depan kelasnya memadati jalan menujuu kelas kami.

Di dalam kelas, Sulaiman sedang terburu-buru menyalin pekerjaan milik Jafar. Anak-anak perempuan sebagian juga ada yang sedang mengerjakannya. Aku mencoba mengeluarkan buku catatanku dari dalam tas. Semakin aku mencari buku tulis tersebut, perasaanku semakin tidak enak.

“Bentar Rud, aku cari buku tulisku… sambil nunggu kamu salin milik Dito bareng Fajar aja!!!...”

Rudi bergabung ke kelompok Dito, mereka terlihat sangat gelisah dan terburu-buru menulis tugas.

Aku masih mencari-cari buku tulisku, tapi aku tidak menemukan buku tersebut. Aku membongkar seluruh isi tas slempangku. Ketika aku sedang dalam mode pencarian tersebut, tak diduga Bu Dyah masuk ke dalam kelas kami. Wajahnya yang serius membuatku semakin gemetar dalam mencari buku tulis fisika ku.

“Selamat siang anak-anak…”

“Selamat siang Bu…”

Semua anak di kelas begitu tenang setelah kedatangan Ibu Dyah ke dalam kelas. Rudi, Sulaiman dan Jafar terlihat lebih tenang, walau wajahnya masih terlihat tertekan.

Bu Dyah duduk di kursinya, kaca mata yang tidak mantap di wajahnya di dorong keatas dengan jari telunjuknhya. Beliau membuka buku materi pelajaran, melihat-lihat sampai apa terakhir kami belajar.

“Oke, sekarang sudah pertemuan kedua sehabis libur semesteraan. Ibu harap kalian sudah kembali focus kepada pelajaran. Jadi, sekarang keluarkan tugas yang Ibu berikan hari kemarin…”

Aku benar-benar kebingungan di dalam kelas. Semua anak mengeluarkan tugas mereka dan meletakkan di atas meja.

“Dit… buku ku kayaknya ketinggalan… gimana nih…”

Kataku sambil berbisik-bisik kepada Dito sebagai teman semejaku.

“Yang bener Bay… lah tadi ga ikutan nyalin?...”

“Aku kira cuma keselip, jadi aku ga ikut nyalin… aduh gimana ya”

“Udah kamu pake buku tulis lain, cepet kamu salin…” saran Dito.

“Oke… sini bukumu…”

Dengan perasaan cemas, aku mulai menyalin tugas yang dikerjakan oleh Dito. Bu Dyah mulai memberi intruksi untuk memutar buku kami ke temen sebelah.

“Oke… tugas kalian kasihkan ke teman sebelah kanan ya, setiap hitungan yang ibu berikan kalian pindahkan, sampai ibu tentukan berapa…”

Tanganku berkeringat seperti biji-biji jagung.

“Satu… kasihkan ke teman sebelah kanan kalian…, sudah?... oke, Dua… Tiga…”

Bu dyah sudah mengintruksi untuk memindahkan tugas kami ke teman sebelah sampai hitungan ketiga. Aku menyuruh Dito untuk langsung saja memberikan tugasnya ke sebelah kanan ku.

“Kamu yang di belakang, kenapa tidak ikut memindahkan buku?... sedang apa kamu?...”

Bu Dyah berjalan menuju tempat dudukku. Suara detak sepatunya yang sebenarnya tidak terlalu keras, terasa seperti suara senapan AK47 di game COD. Dito menarik buku tugasnya dan menundukkan kepalanya. Aku meletakkan bolpoint yang sedari tadi ku ajak menari diatas bukuku.

“Coba Ibu lihat, bukumu…”

Aku membiarkan buku tulis yang tadi ku pakai untuk menyalin tugas Dito di angkat oleh Bu Dyah. Wajah Bu Dyah tiba-tiba mengerngit.

Keringat yang tadi hanya ada di tanganku sekarang mengucur di wajahku.

“Jadi kamu belum mengerjakan tugas kematin?...”

“Sudah Bu…”

“Terus?...”

“Kerjaan saya ketinggalan,… tapi serius saya sudah mengejakannya…”

“Tapi Ibu tidak bisa percaya begitu saja kalau tugas kamu tertinggal di rumah…”

“Saya jujur bu…”

“Ibu tidak bilang kamu bohong, hanya belum percaya… sekarang coba kamu kerjakan soal yang ibu berikan kemarin sebagai bukti…”

Semua teman laki-lakiku memandang kepadaku dengan wajah iba. Dito sesekali melihat aku dan Bu Dyah, namun kembali menunduk dan menyembunyikan buku tugasnya.

Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain mengiyakan perintah Bu Dyah. Aku mengeluarkan buku materi fisika ku, dimana terdapat kumpulan soal yang dijadikan tugas rumah.

Ketika aku berjalan menuju papan tulis untuk memulai mengerjakan soal.

“Tadi di kelas X1 tidak ada satupun siswa yang tidak mengerjakan tugas ataupun tertinggal dirumah mereka, kalian harus bisa mencontoh kelas X1. Kalian tidak boleh kalah dengan mereka…” terang Bu Dyah.

Kenapa semua hal baik selalu dikait-kaitkan dengan kelas X1. Hampir semua guru selalu membanding-bandingkan kelas X1 dengan kelas lain. Apakah seluruh siswanya adalah jenius, tidak ada yang seperti kami.


Pindahan: Vol. 1, p.3.1

No comments :
Bel sekolah bordering nyaring, menandakan waktu istirahat kedua dimulai. Gerombolanku bergerak menuju kantin sekolah, memberi isi perut yang mengerang-erang kelaparan. Suasana begitu riuh, berebut posisi antri mendapat nasi. Di kantin sekolahku hanya ada dua penjual saja, pertama emak Surti yang sayurnya khas berkuah, sedang yang kedua adalah emak Siti yang gorengannya sangat digemari di lingkungan sekolah. Kedua tokoh tersebut adalah pahlawan, pahlawan tanpa tanda jasa, seperti halnya guru (itu menurut sebagian anak kelasku yang doyan makan).

Ditengah riuhnya suasana saling berdesakan mendapat makan siangnya, terlihat Intan yang kebingungan di belakang kerumunan anak-anak lain. Wajahnya resah, mondongak-dongakan kepala seperti orang telat datang ke konser sehingga kebagian di belakang.

“Eh… ada Intan itu…” wajah Fajar merona-rona.

“Mana-mana…” Sulaiman celingukan mencari

“Itu…itu yang disana… yuk kita godain…” Fajar semakin merona-rona, sambil menunjuk posisi Intan.

“Kamu mau nggasak bidadarinya Om Bayu… Ini…lihat…” Rudi dengan menunjukkan tinjunya kepada Fajar.

“Hoe… siapa yang OM-OM… terus apa hubungannya aku sama Intan…”

“Uwis, pokoknya kita dukung Intan buat kamu, hahahaha….” Jafar masuk perbincangan dan langsung mengajak tos semua anak-anak. Ketika tiba bagian tos denganku, aku singkap tangannya.

Tiba-tiba saja Fajar sudah maju menuju Intan berada, tanpa teman-teman yang lain sadari. Dito yang sedari tadi diam saja, juga datang mendekati mereka berdua. Tapi ternyata Dito tidak menuju Intan, tetapi malah menarik Fajar menjauhkan dari Intan.

Melihat aksi Dito kepada Fajar, sontak Jafar, dan Rudi membantu Dito menarik Fajar. Sulaiman menarik-narik aku menuju Intan. aku berusaha menolak, tapi apa daya aku melihat betapa bahagia teman-temanku memperlakukan aku seperti ini. Fajar berhasil disingkirkan oleh mereka dan di bawa ke kantin sebelah, tepatnya kantin emak Surti. Sembari pergi dengan Fajar sebagai tangkapannya mereka memberi kode-kode intruksi kepadaku untuk menemani Intan.

Dengan wajah kebingungan Intan menatapku, wajah kebingungan dengan bumbu muka cengar-cengir memang lucu. Aku berjalan meninggalkannya menuju tempat piring-piring di tata rapi. Intan malah membuntutiku.

“Bay… bantuin aku beli nasi sayur….” Intan memasang wajah memelas.

“Bantuin gimana?… Ya tinggal beli aja, susah amat…”

“Susah banget deh,… itu antrinya…” kembali dengan wajah memelas.

“Ya tinggal antri seperti biasa kamu ke kantin… jangan sok bodoh begitu…!!!...”

“Siapa yang sok bodoh… kantin disini beda dengan kantinku yang biasanya… antrinya itu,… grrr… ini bukan antri namanya, tapi berebut..” alasannya panjang lebar.

“Kantinmu?....”

“Iya… kantinku dulu rapi, semua anak antri mengambil makanan dengan tertib, tapi ini… akhhh… menyusahkan…” jelasnya dengan penuh semangat.

“Apa kamu sedang menghayal?... di sekolah ini kantin hanya dua, dan itu juga bersebelahan… yang mana kantinmu itu???...”

“Yang…”

“Yang ada dalam khayalanmu… khayalan kantin tertib itu?... lebih baik kamu bangun dari tidurmu dan mulai berebut perhatian emak…” aku memotong perkataannya dengan sedikit nada tinggi.

“Berebut perhatian emak? Emak itu apa?...” dia pasang wajah bodoh.

“Emak itu tepung terigu kasih telor!!!!.... emak ya emak lah...”

“Ini piring… kamu ambil lauk dulu, terus kamu teriak-teriak memohon kaya yang lainnya… lihat itu… “emak… nasi sama sayur… nasi sayur aku belum”… klo perlu kamu bertengkar mulut agar didahukan dapat nasi… klo perlu kamu teriak-teriak pesan makanan sama pegang duitnya, biasanya emak lebih suka ngelayanin anak yang sudah bawa duit di tangannya… terus juga…”

“Cukup-cukup… Oke-oke aku ngerti…” dia memotong kultumku.

“Huft… sekolah yang ribet…” celotehnya pelan.

Intan bergerak mendekati kerumunan antrian rebut itu. Melakukan hal yang aku jelaskan tadi, dengan cara yang kaku. Ini adalah kantin yang penuh dengan omelan, pertama tentu saja omelan para palanggannya yang kelaparan, yang kedua omelan emak Siti, mencak-mencak menyuruh anak-anak sabar.

Melihat Intan berjuang menghilangkan hasrat kelaparannya, aku jadi kasihan. Dia terlihat sangat kaku ketika berteriak memohon dilayani oleh emak Siti. Teriakannya hanya kata “Emak”… “Makan”…”Emak”... “Makan”. Terdengar memalukan.

Aku mendekati Intan dan merebut piring yang diatasnya baru ada sepotong kepala ayam.

“Eh… Eh… ngapain kamu… sini piringnya… aku belum dapat makannya !!!...” protesnya galak kepadaku.

Piring itu aku angkat tinggi-tinggi, badannya yang tingginya tidak lebih dari kupingku kesusahan menggapainya.

“Udah biar aku saja yang pesan… bodoh…” kataku kepadanya.

“Siapa yang bodoh… kamu yang bodoh tau… iya, tapi kalo mau bantuin, aku ga keberatan… hahahaha (ketawa jahat)…”

“Minggir… lihat aku…”

“Oke…” dia cengar-cengir.

-o0o-

Setelah mendapatkan sepiring nasi sayur dan lauknya, aku dan Intan mencari tempat duduk yang kosong. Tapi sialnya semua kursi penuh, akhirnya kami memutuskan makan sambil berjongkok di belakang kelas XI 2, dengan kaum-kaum yang memiliki nasib sama dengan kami. Kantin sekolah kami sangat sempit, warung kira-kira hanya seukuran 3 x 6 meter, dan posisinya yang berada di belakang kelas juga tidak menyediakan tempat yang luas untuk meja kursi makan. Bagi yang tidak mendapat meja makan biasanya akan makan dengan jongkok di belakang deretan kelas XI.

Aku melihat Intan memakan makanannya terlewat lahap. Aku melihat dia tidak seperti anak-anak kelas X1 yang lainnya. Jauh berbeda, cara dia berkomunikasi dengan orang lain, dan tidak bersikap dingin layaknya kelas X1 yang ku pahami.

“Makannya pelan-pelan… nanti cegukan…”

“Aappa… huq…huq…huq…” sepertinya karena seruanku dia malah benar-benar cegukan.

“Huq… gara…huq…gara kamu… sih…huq… air huq… cepeettt…”

Dia menenggak habis air putih yang kuambilkan, air putih di kantin gratis dan mengambil sendiri. Disediakan gelas dari plastic dan dua buah dispenser.

“AAAHHHHH…. lega”

“Jangan lebar-lebar mulutmu… BAU… dasar cwe aneh…”

“Mmmaaf… ternyata makan dikantin ini sambil jongkok enak juga ya, aku tidak pernah melakukannya di sekolahku yang sebelumnya…”

“Saat SMP?...” Tanya ku.

“Bukan!” menenggak air putih.

“Di SMA” dia menenggak air putih lagi.

“Ini bukan gelasmu...” aku merebut gelasku darinya.

“Mmmmaafffhhh…hehe” ketawa jahat.

“Jadi kamu anak baru pindah ke SMA ini?”

“Iya benar, aku anak pindahan, karena ayahku pindah kerja di kota ini”

Menenggak air putih lagi.

“Ini bukan gelasmu, bodoohh…”

“Menyebalkan sekali aku harus mendapat kelas di kelas X1…”

Aku terkejut dengan apa yang barusan dia katakana.

“Bukannya itu keberuntungan?”

“Beruntung? Mungkin bagi kamu yang tidak berada di kelas itu mengatakan beruntung…”

“Bagaimana tidak beruntung, banyak anak yang bermimpi menjadi pintar dan ditempatkan di kelas unggulan itu…” pendapatku.

“Jadi begini yang terjadi di kelas X1, aku akan membeberkan rahasianya… tapi kamu jangan cerita ke siapa-siapa, termasuk gerombolanmu itu… ok!!!...”

Aku mengangguk.

“Janji?...”

“Iya…”

“Oke jadi begini sebenarnya yang terjadi di dalam kelas X1, semoga setelah kamu mendengarnya kamu bisa berhenti berfikir masuk kelas X1 adalah keberuntungan…”

Dia mulai menceritakan dengan suara pelan dan rendah, wajahnya seolah menyimpan kesedihan saat menceritakan alasannya.

“Jadi keadaan di kelas X1 itu… hmmm…”

“Kapan mulai masuk ke cerita… sudah 4 kali kamu bilang jadi-jadi terus… dasar cwe jadi-jadian…”

“AKHHCCC…” ternyata jewerannya lumayan juga.

“Jadi begini keadaan di dalam kelas X1… mereka selalu saja….”

“Tttrreeettttt,…. “ suara Bel sekolah tanda istirahat habis telah berbunyi.

“Haduh… ceritanya lanjutin besok saja ya???... aku harus masuk kelas sekarang!...”

Intan berlari meninggalkanku dengan meninggalkan sederet pertanyaan, “Apa kelanjutan dari cerita Intan yang di awali dengan kata JADI….


Pindahan: Vol. 1, p. 3

No comments :
Langkahku lunglai melewati koridor kelas demi kelas menuju kelas ku. Wajahku terasa pucat, badan terasa lemas, langkah terasa berat. Hampir semalam suntuk aku menonton pertandingan bola di televisi.

Setelah melewati deretan kelas XII yang paling dekat dengan lokasi parkiran sepeda, aku memasuki deretan kelas X. Langkahku sedikit melambat – padahal sudah lambat – di depan kelas X1, mengingat-ingat kejadian hari kemarin.

Dari luar jendela kelas, aku melihat Intan duduk sendiri di bagkunya. Meja yang dia tempati berada di paling belakang dekat dengan jendela. Dia sedang terjaga dengan buku yang dibacanya.

“Tok…tok…

Aku mengetuk kaca jendela kelas tersebut, wajahnya menoleh dengan mulut menganga.

“Eh… apa?...”

“Temen-temen ngajak main PS lagi abis pulang sekolah… sanggup?...”

“Iya-Iya… ntar aku ikut… udah sana… hush..hush…” usirnya dengan suara rendah.

“He-emm…” berlalu meninggalkannya.

Kelas bersejarah itu aku tinggalkan pelan-pelan menuju kelasku. Kelasku berada di lantai dua, kalau di kira-kira di bawah kelasku tepat adalah kelas X1. Di lantai bawah ada empat ruang dengan urutan, ruang bahasa, kelas X1, kelas X2, ruang gudang peralatan drumband lalu tangga menuju lantai dua. Sedangkan di lantai dua setelah tangga adalah kelas X3, kelas X4, kelas X5, dan kelas X6. Dengan formasi gedung kelas X itu, menempatkan kelasku tepat di atas kelas X1.

Suasana di kelas begitu riuh oleh suara laki-laki yang hanya berjumlah 6 orang, isi kelas selebihnya adalah perempuan. Kelasku keseluruhan jumlah siswanya adalah 35. Bayangkan betapa kontras perbedaan jumlah antara laki-laki dan perempuan.

Walau jumlah kami kalah jauh dengan siswa perempuan, tapi ketika kami sedang berbincang bola, ruangan kelas akan sangat bising, mengalahkan suara 29 anak perempuan yang sedang membicarakan drama korea.

Melihat mereka begitu serius membahas pertandingan bola semalam, membangkitkan semangatku yang tadinya terkuras karena kurang tidur. Aku meletakkan tas sekolahku di atas meja.

“Nanti aku mau bikin gol sama seperti gol pertama tadi malam… gocek-gocek…”

“Mana bisa,… ini loh aku, peringkat pertama !...” teriak Rudi membanggakan hasil liga pada permainan PS hari kemarin.

“Menang beruntung saja pamer !!!...” balas Dito yang tak mau kalah.

“Pokoknya nanti kamu lihat aja lah…”

“Nanti gebetanmu ikut main lagi ga Bay?...” Sulaiman tiba-tiba merubah haluan perbincangan, memotong perkataan Rudi dan mengagetkanku.

“Gebetan?... Gebetan Dari Hongkong !!!...”

“Lah… sok nutup-nutupin…” tangkis Sulaiman dengan mencolek-colekkan kedua jempol miliknya.

“Nanti ajak jalan lagi Bay… haha…” Fajar angkat bicara.

“Intan ya?...” Jafar mendongak seolah merenung. “Cantik juga dia…hee…”

“Ngawur kalian… Gebetan? Ajak jalan? Siapa juga yang gebetannya…haha” ketawaku ku buat-buat.

“Yak lo ga mau ga papa…” Jafar kembali menimpali dengan cengar-cengir.

“Hoe-hoe…”

“Hush…”

“Kamu siapa saja diembat…” serang Dito mengepalkan tangan kepada Jafar.

“Gebetan temen sendiri mau diembat… cari sendiri sono…"

“Hoeehhh… siapa yang gebetan siapa yang digebet…” teriakku keras sambil mengglojo semua kepala temanku.

BERSAMBUNG DISINI

Jaket Merah, Vol 1, p. 2.1

No comments :
Dia dengan semangat mengorek-ngorek meja itu dengan pisau siletnya. Aku terdiam dibelakangnya, pekerjaanku sedang diambil alih seorang yang tak ku kenal sama sekali.
Mengapa dia begitu akrab, bahkan pada orang yang baru dia temui dan belum saling mengenalkan nama. Wajahnya memang awalnya terlihat kaget ketika pertama kali aku bertemu dia di pagi hari tadi. Tetapi saat ini dia sama sekali tidak terlihat menempatkan aku, orang yang sebenarnya tidak dia kenal, sebagai orang lain. Cara berbicaranya kepadaku saat ini terdengar seperti aku adalah teman lamanya.
“Eh… kamu jangan Cuma diam di belakangku dong, bantuin aku…!!!, oh ya mending kamu sikat bekas permen yang udah aku korek, kalia aja ngaruh,…”
Aku masih saja diam, masih terliputi rasa penasaran yang hanya ku tanyakan di dalam hatiku saja.
Dia menoleh ke belakang, memandang wajahku dengan sekitit wajah cemberut. Matanya yang bulat memberi sinyal bahwa dia sedikit sewot.
“Woee… lagi ngelamunin siapa?...”
“Kagak, siapa yang nglamun… kamu ko sok akrab banget tiba nylonong bantu-bantu kerjaanku?...”
Dia terdiam sebentar, melihat wajahku dengan senyumannya. Entah mengapa aku malah jadi merasa merinding, di pandang oleh dia dengan tersenyum.
“Halo… Halo… kamu masih sadar?...” tanganku melambai-lambai di depan wajahnya. Dia terdiam dan menatapku terlalu lama.
“Aku ga sadar…!!!” jawabnya.
“Hah !!!…”
“Sadar lah… ga tau juga kenapa aku jadi sok akrab, udah lah mungkin alasannya kenapa itu gak penting…”
“Kamu bener-bener ga sadar…” tanganku melambai-lambai kembali di depan wajahnya, cek kesadaran.
“Mau dibantu ga ?…” tanyanya balik.
“Iya-Iya… mau…”
Aku menyerah untuk mencari tahu, setidaknya pekerjaan membersihkan sisa permen karet siang ini lebih cepat selesai.
Setelah semua selesai, kami berdua berjalan keluar kelas bersama-sama. Dia terus saja mengoceh, membicarakan apa saja yang dia anggap bisa mengisi waktu. Mulai dari kebiasaannya, hobby, makanan kesukaan, bahkan apa saja pelajaran hari itu dia ceritakan.
Aku tetap saja diam mendengarkannya, hanya sedikit menoleh dan mengangguk ketika dia menanyakan kepadaku apa aku mendengarkannya. Wajahnya terlihat seperti manusia merengek untuk didengarkan semua ceritanya. Aku hanya bisa menghela napas panjang.
“…Grrr…Grrr….” Hp ku bergetar lama seperti saling bersalutan di dalam tas slempangku.

Sebuah pesan singkat dari Fajar, Dito, Jafar, Sulaiman, dan Rudi seperti berdesakkan masuk kotak inbokku.
Belum sempat aku membuka salah satu pesan tersebut, panggilan dari Dito masuk.
“Tit…
“Hoee,… lamma amat… kita udah selesai satu kali CUP,…” suaranya keras di tengah suara bising sekitar Dito.
“Iya bentar… udah mau ambil motor…”
“Emang kamu pake motor Bay…”
“Tunggu aja kamu situ, stiknya kamu siapain kan?...”
“Sip… cepet…”
“Tutttt…. Mati.
Aku berlari kecil menuju parkiran sepeda motor. Wanita berjaket merah yang sedari tadi nyerocos bercerita tidak jelas aku tinggalkan. Aku tak menoleh sama sekali kepadanya. Suaranya berhenti, tak terdengar lagi.
Parkiran sudah sangat sepi, hanya ada beberapa motor dan sepeda yang terparkir di sana. Di minggu awal semester dua ini, ekstra kulikuler belum ada yang aktif. Semua kegiatan kesiswaan dimulai pada minggu depan. Sebagian besar siswa sudah pulang kerumah atau pergi main menghabiskan siang sore hari mereka sebelum pulang kerumahnya. Aku dan teman-temanku memutuskan untuk bermain PS sepuasnya.
Aku mengendarai motorku melewati kelas-kelas X. Ternyata di depan kelas dimana aku mengangkat telepon dari Dito, perempuan berjaket merah tadi masih berdiri di sana, sendiri.
Selama aku bersamanya, dari pertama bertemu di kelas pagi tadi, mengorek-ngorek sisa permen karet bersama-sama, menjadi pendengar setia semua cerita tak jelasnya, sampai berlari aku meninggalkannya, aku belum mengetahui siapa namanya.
Aku membelokkan motorku menuju tempatnya. Wajahnya masih sama seperti sebelum aku meninggalkannya, tersenyum-senyum seperti sudah lama kenal saja. Aneh.
Aku akan memulai menanyakan namanya dengan sedikit basa-basi. Terasa aneh kurasa jika aku langsung menanyakan namanya, karena dari tadi sebenarnya aku hanya diam tidak menanggapi perbincangannya.
“Kamu sendirian?... ko belum pulang?... sekolah aja udah sepi banget?...” tanyaku sedikit kaku.
“Kamu mau main PS ya?...”
“Aku Tanya, malah balik tanya…”
“Aku ikut ya?” Tanya dia kembali singkat.
“Ikut apa,.. main PS… bisa apa?...”
“Bisa lah,… aku punya PS 1 di rumah, gini-gini aku jago main Metal Slug…” jawabnya dengan bangga.
“Metal Slug… kita mainnya bola, udah ah ga usah ikut, pulang saja sana nanti dimarahi mama kamu…” saranku.
“Ayo lah aku ikut,… soalnya kakaku jemput aku sorean, aku bingung disekolah sendirian,…”
Aku diam, wajahnya memelas.
“Rental PS selatan sekolah kan?... aku jamin bisa ngalahin kamu deh… ga rugi lawan aku…”
Aku putuskan untuk pergi meninggalkannya, tak ingin dipersulit oleh nya,  lagi pula aku tidak mengenalnya. Kutarik gas motorku meninggalkannya.
Baru sekitar lima puluh meter meninggalkan wanita berjaket merah itu ada suara keras menghalau ku.
“Mas… turun dari motor !!!...” terlihat Pak Sobirin, guru olah raga ku di depan kantor guru memberikan intruksi kepadaku.
Kaget dengan suara Pak Sobirin, aku langsung mematikan motor dan turun menuntun motorku. Masih dengan tatapan tegas, Pak Sobirin memandangku.
“Nah… begitu, tau aturannya kan tidak boleh menaiki kendaraan di area sekolah…” suara Pak Sobirin keras.
“Iya Pak, maaf lupa…” jawabku malu-malu.
Sementara aku menuntun sepeda motorku, wanita berjaket merah berlari mengejarku.
“Aku ikut lah… pasti aku menang. Ga kecewa lawan aku…”
“Ga usah…”
“Pokoknya ikut…”
Dia terus saja memaksa untuk ikut. Bahkan walaupun aku menakut-nakuti bahwa di sana semua anak laki-laki, dia tetap ngotot ikut.
“Ya udah boleh ikut… tapi bayar!!!...”
“Siap boss…” jawabnya mantap.

Sepanjang jalan menuju rental dia terus saja bercerita tentang game-game yang pernah dia mainkan. Tak kusangka wanita berjaket merah yang tiba-tiba sok akrab ini, dari cerita yang dia berikan memiliki pengalaman dalam bermain game. Akhirnya aku pun terbawa oleh perbincangannya, karena dia membicarakan game tak terasa aku sudah merasa akrab dengannya.
Rental PS siang sore ini sangat rame, tidak ada satupun layar televise yang kosong. Semua PS dengan kedua stiknya sudah di pegang oleh pemakainya, yang kesemuanya adalah laki-laki. Aku memasuki rental PS itu dengan diikuti wanita berjaket merah itu di belakangku.
“Tuh kan ga ada cwe nya… nanti kamu ga nyaman…”
“Dari pada di sekolah ngelamun, mending di sini lah…” katanya ketus.
Dua PS kami pesan, PS pertama sedang di mainkan oleh Rudi dan Sulaiman, sedang PS kedua sedang dimainkan oleh Dito dan Jafar, sementara Fajar sedang menunggu giliran duduk di belakang Dito. Mulut Fajar terus saja memberi komentar jalannya pertandingan antara Dito dan Jafar.
Kami masuk kedalam ruangan tersebut, Dito langsung mem-pause gamenya.
“Halo boss,.. lama banget, orang penting sih ya…” Dito berkomentar.
Fajar yang tadinya serius ngerecoki pertandingan Dito VS Jafar, beralih pandang dari layar televise menuju muka ku. Tapi tak bertahan lama, pandangannya beralih menuju siapa yang di belakangku.
Wajah Jafar terlihat bertanya-tanya, dia menyikut-nyikut Jafar seolah ingin menunjukkan sesuatu kepadanya.
“Aku boleh ikutan main ya… aku gratisin satu jam deh…” wanita berjaket merah itu tiba-tiba menawarkan diri pada teman-temanku.
Sulaiman tiba-tiba menoleh kepada kami, wajahnya sama seperti Dito dan Jafar. Wajah penasaran.
“Aku jago juga loh main bola… boleh ya” tawar wanita berjaket merah sekali lagi.
“GOOLLLLL…. GOLLLLL,… Man… gol lagi aku, ahh payah banget kamu…”
“Hoeehhh… sial… aku lagi ga focus tadi,…” jawab Sulaiman kepada Rudi.
“Kamu temennya Bayu ya?...” Tanya Dito kepada wanita berjaket merah.
“Bayu?... Bayu siapa?...”
“Lah… itu yang didepanmu !!!...”
Wanita berjaket merah itu memandangku, dan tertawa. “Hehe…”
“Bay… kamu ga kenal dia…” Tanya Fajar.
Aku menggeleng.
“Oh iya,… kenalin namaku Intan, Intan Pritasari… panggil saja terserah kalian yang penting masih namaku… hehe…” kenalnya.
“Jafar…”
“Dito…”
“Sulaiman”
“Fajar…”
“GOOLLLL……” teriak Rudi.
“Hahhh…. Ah curang….” Sulaiman spontan.
“Bercanda-bercanda Man…, aku Rudi mba…”
“Jangan panggil mba lah, namaku saja…” senyumnya kepada semuanya.
Pandangan Intan sekarang beralih kepadaku.
“Kamu ga ngenalin namamu ke aku?...” Tanya Intan kepadaku.
“Kan udah di sebutin sama Dito…”
“Oh yang tadi… Bayu ya… oke-oke sory, hehe…”
Tiba-tiba semua pertandingan yang teman-temanku mainkan di close menuju menu. Semua berebut untuk bermain dengan Intan. Semuanya focus kepada Intan dan melupakan keberadaanku.
“Heh… kita buat Liga, biar adil, biar ga rebutan main sama… siapa namamu?...” teriakku kepada teman-temanku lalu aku menoleh ke Intan.
“Intan…”
“Iya… biar ga rebutan Intan…”
“Eciee… langsung cemburu… hahaha…” simpul Rudi.
“Ehem… Ehemm…” seru mereka bersama-sama.
Sampai akhirnya kami berenam memainkan game bola yang di liga. Belum sampai habis waktu main PS yang kami sewa, Intan pamit dahulu karena kakanya sudah menunggu menjemputnya di depan sekolah.
Semua teman-temanku menanyakan bagaimana aku bisa bersamanya menuju rental PS. Aku menceritakan sebisaku kepada mereka, tapi mereka tetap saja tak percara apa yang aku ceritakan. Jafar malah sampai-sampai menuduhku memakai guna-guna, santel, pellet atau semacamnya.
Entahlah, aku sendiri juga bingung dengan wanita berjaket merah itu. Mengapa dia bisa begitu mudah akrab denganku dan teman-temanku. Padahal baru hari ini aku bertemu dengannya.
Hal yang aku masih penasari pada Intan adalah mengapa dia tidak menyinggung jaketnya yang terkena permen karetku. Mungkin, intan sendiri tidak tahu apa yang terjadi dengan jaketnya.
Sudah sore, lebih baik aku pulang kerumah.

BERSAMBUNG DISINI

Jaket Merah, Vol 1, p. 2

No comments :
Hari ini aku di interogasi di ruang OSIS, lima orang anggota OSIS kelas XI mengerubungi dengan wajah mengerikan. Suara mereka bersautan mengutukku karena memasang permen karet di kelas X1. Suaranya keras tepat di depan wajahku, mencoba melemahkan mentalku di depan mereka. Walaupun ulahku itu kuniatkan untuk membuat bangga diriku di depan teman-teman main di kelasku, tetap saja wajahku murung ketika di serbu para anggota OSIS. Baguslah aku tidak mendapat hukuman tambahan, bagi mereka bisa membentak-bentak aku di ruang OSIS sudah memuaskan. Hanya saja aku harus membersihkan permen-permen karet di ruang kelas X1 tersebut selepas jam sekolah habis.


Setelah jam istirahat kedua habis aku di persilahkan kembali ke kelas. Wajahku murung lemas menuju kelas, itu harus terjadi, bagaimanapun aku tak boleh terlalu sombong dengan langkah tak bersalah di depan mereka. Rencanaku cukup berhasil di pagi hari tadi, walaupun memakan korban anak kelas X1. Di lain waktu aku akan meminta maaf kepada dia.


Memasuki kelasku semua anak laki-laki melihatku tereyuh, seakan mereka ingin merasakan apa yang aku rasakan. Mereka benar-benar temanku. Bahkan ketika aku mendekati kerumunan mereka, mereka menepuk-nepuk pundakku, sebagai tanda kepedulian mereka.


“Aku salut denganmu kawan…”


“Yah… aku juga Bay…”


“Mari kita rayakan keberhasilah Bayu… hahaha…” kata Dito, semua melihat wajahnya.


“Kamu lapar Dit..?,” Sulaiman mengglojo kepala Dito.


“Oke nanti kalian selepas pulang ke rental duluan ya, sembunyiin stik yang bagus buatku… aku nanti ada urusan sebentar,…” aku tak ingin mendapat stik rusak saat main PS selepas sekolah.


“Oke Boss,…” teriak mereka bersama-sama.


Aku menunggu sekolah sedikit sepi, setidaknya hingga kelas X1 habis penghuninya. Setelah setengah jam menunggu di samping kantor, aku menuju kedapur sekolah, meminjam peralatan untuk membersihkan hasil karyaku pagi tadi. Sedikit minyak tiner, sikat kamar mandi, kain lap kotor di dapur, gayung untuk tempat air yang kuambil di kamar mandi khusus guru, sepertinya cukup.


Kelas X1 benar-benar kosong, sama seperti pagi tadi sepi senyap. Ada tiga titik yang harus ku bersihkan. Pertama aku membersihkan bagian pintu, permen karet yang tertempel terlihat flat karena sudah mengenai orang, sedikit hitam tapi tetap saja lengket. Yang kedua di meja depan dekat pintu juga sama, tetap saja lengket, tapi yang bagian ini kondisinya sudah sangat buruk, mungkin karena tergencet bokong ka Dewi. Permen itu sudah menyebar ke beberapa bagian, meja itu terlihat belepotan permen karet.


“Ehem…hmmm,…” ada suara tiba-tiba di belakangku.


Aku melihat siapa yang datang, dan melanjutkan kegiatanku. Permen di meja ini memang jauh lebih sulit di bersihkan. Aku berharap dia pergi langsung, tapi dia hanya berdiri diam di belakangku.


“Heh… apa kamu ga ada kerjaan, lihat-lihat orang sibuk,…?” tanyaku kepadanya.


“Ada kok… ada yang tertinggal di kelas,…” dia gadis berjaket merah itu, pergi ke bangkunya.


Sepertinya tiner belum bisa menghilangkan kotoran permen karet di meja ini, apalagi tekstur meja yang berserat, membuatnya semakin lekat menempet padanya. Gadis itu tak kunjung pergi, entah apa yang dia lakukan di mejanya. Sesekali aku melihatnya, dia terlihat konsentrasi kepada sesuatu.


“Jadi itu ulahmu?,…”


Aku terkejut dan berpaling, dua meter di depanku ada seorang wanita kurus dengan wajah membara. Dengan tangan yang mengepal, seperti memasang kuda-kuda. Aku berdiri tegap didepannya.


“Iya,…”


Dia melangkah setengah lari kepadaku, aku langsung saja menghindarinya. Air di gayung yang aku pegang sedikit tumpah. Membasai sepatu hitamnya.


“Hei… aku bisa jelasin… ga usah pake emosi,…” jawabku dan perangainya melunak.


“Hmmm… boleh aku ikut bantu membersihkan,…” wajahnya tiba-tiba senyum palsu.


“Haa,…”


“Boleh ga?,….” Bentak dia. Wajahnya nya kembali berubah galak.


Aku mengangguk, semua peralatan kebersihan yang ku pegang sekarang dikuasai olehnya. Dia diam cukup lama melihat permen karet yang menempel di meja itu. Mungkin dia ragu.


“Kalau ga bisa, ga usah sok bantu-bantu,…” saranku.


“Bukannya ga bisa, nih mah gampang… ko baunya busuk ya,…” sambil menutup hidung sambil melirikku.


“Kamu mau bantu atau Cuma mau komentar, kalau Cuma….


“Ini harus pake pisau, dikorek-korek baru bersih,…” dia memutus perkataanku. Sambil mengambil pisau silet dari dalam tas pink nya.

(Ini anak kesekolah ko bawa pisau) batinku.

BERSAMBUNG DISINI

Permen Karet Itu Lengket: Vol 1, p. 1

No comments :
VOLUME 1


A. PERMEN KARET ITU LENGKET

Sekolahku berjarak sekitar 7 km dari rumahku, ditempuh sekitar 45 menit menaiki sepeda. Sepeda adalah alat transportasi yang aku sukai, Meski keluarga kami memiliki banyak motor di garasi. Bersepeda menuju sekolah adalah salah satu suasana yang paling menyenangkan selama aktivitas keseharianku. Apalagi jika sepeda yang ku pakai sedikit rusak, mengeluarkan suara-suara serak yang akan membuat orang lain yang mendengarnya terenyuh, itu sebuah kesenangan yang menarik. Aku merasa terlepas dari status anak orang kaya (tetanggaku menganggap keluargaku mampu). Di saat itu aku merasa hidup

Senin ini, aku akan kembali merasakan hidup setelah lama hibernasi di dalam masa liburan yang membosankan. pasti banyak hal yang akan diceritakan teman-teman sekelasku, aku siap untuk mengarang liburanku. Itu juga aku suka. waktu sudah menunjukkan pukul 06.45, semoga aku tak terlambat. Ayo…

Upacara Bendera hampir dimulai, semua anak laki-laki kelas X rapi berbaris, disampingnya anak-anak kelas XI yang berantakan berbaris dan berisik, dan barisan paling ujung anak laki-laki kelas XII yang diam loyo dalam berbaris, membayangkan suasana ujian 4 bulanan kedepan. Aku berdiri di barisan kelas X bersama kelompok kelasku, X5. Mereka semua diam tegap sebagaimana anak kelas X yang baik. Disampingku Dito, teman semejaku, dia adalah salah satu anak yang paling rame di kelasku. Kami adalah partner keonaran. Pembuah gaduh didalam kelas.

Aneh, tidak seperti yang aku dan teman-teman duga. Di hari pertama masuk sekolah, OSIS berbuat ulah. Selesai dari upacara Bendera, tiba-tiba mereka mengadakan operasi kelengkapan seragam dan rambut panjang. Sial.

Ada lima anak kelasku yang terjaring operasi tersebut, Dito hari ini lolos, sedang aku dan 4 anak lainnya, Rudi, Sulaiman, Jafar dan Fajar, harus digiring. Kesemuanya termasuk aku mendapat sanksi karena berambut panjang, tapi khusus bagiku mendapat tambahan sanksi karena bet OSIS yang aku pakai ketahuan tidak dijahit, hanya di tempet memakai dobletip. Hukumannya sederhana, bagi pelanggar karena rambut panjang adalah menggantika tugas piket kebersihan hari selasa di kelas lain yang ditentukan melalui pengundian. Sedangkan bagi pelanggar kelengkapan seragam, menyiram tumbuhan dan bunga-bunga. Karena aku melanggar keduanya maka sanksiku dobel. Sepertinya aku akan menjadi jongos bagi kelas lain.

Undian kelas dimulai, semua anak mengambil kertas bertuliskan nama kelas yang terlipat dan ditempatkan didalam ember cat. Rudi mendapat bagian di kelas X4, Sulaiman dan Fajar mendapat kelas yang sama, X6, Jafar di X3, sedang aku mendapat bagian di X1.

“Oke, semua sudah dapat bagiannya. Besok kalian lakukan tugas kalian sesuai dengan jatah masing-masing. Jangan ada yang telat. Kalian akan menyesal,” terang kak Juanda selaku Ketua OSIS.

“Awas kalau telat !!!,”

“Dengerin De !!!,”

“hukuman akan kaka tambah bila telat !!!

“Hoeh… besok kaka tunggu !!!,”….. semua perangkat OSIS seolah berebut space waktu untuk menyoraki kami.

Permen Karet Itu Lengket
Wah… kelas begitu ramai, semua anak seolah sedang meledakkan rasa rindu mereka dengan sahabat-sahabatnya. Kelas kami jam pertama setelah upacara bendera kosong, sehingga kami bebas untuk bercerita satu sama lain di dalam kelas. Dito pun sangat semangat ketika melihat kami berlima, aku, Rudi, Sulaiman, Jafar dan Fajar masuk ke dalam kelas. Seperti biasa dia akan mengolok-olok kami karena terjaring rahasia, dengan akhiran tertawa yang mengerikan.. ha haha ha hahahaha… Goblok… lalu kami tertawa dan kembali saling ejek.

“Ah… kamu dapat hukuman apa tadi Bay? Cuci daleman mba-mba OSIS, haha… atau suruh bawa belanjaan mereka kalo shoping-shoping… atau…,” Aku cepat-cepat bungkam mulut Dito dengan roti.

“Apa yang kamu pikirkan kecuali mba-mba OSIS? Besok aku akan buat ulah di kelas X1… hahahahaha…,”

“Oh ya, kalian (Rudi, Sulaiman, Jafar dan Fajar) juga ya!!!,” tunjuk aku.

(Semua menggeleng).

“Ahh… jadi begitu, tidak ada yang akan melawan para OSIS itu, okelah… aku merasa sangat bersemangat untuk hari besok,”……

“Emang apa hubungannya antara hukumanmu dengan kelas X1?...,”

“Besok juga kamu akan tau Dit,..” celoteh Fajar.

Hari ini aku memakai motor menuju sekolah, semua hanya agar aku lebih awal datang. Ternyata rasanya jauh berbeda dengan bersepeda, bahkan udara yang segar di pagi hari belum sempat aku nikmati, aku sudah merada di depan gerbang sekolah. Biasanya aku merayu-rayu gadis sekolah lain yang sama-sama bersepeda, sensasi itu tak ada ketika menggunakan motor.

Sepertinya sekolah masih lumayan sepi, belum terlihat anggota OSIS yang janjinya akan mendata anak-anak yang terjaring operasi kemarin. Paling mereka yang terlambat, dasar pembual. Kelas X1, aku datang!!!.

“oe-oe… belum ada anak dikelas…

Aku masuk kedalam kelas tersebut, melihat-lihat ruangan yang semua guru menyespesialkan. Tempat anak-anak pintar yang menduduki rangking teratas di sekolah. Sepertinya mereka terlalu rajin belajar, sampai-sampai dinding kelasnya berisi tempelan-tempelan rumus yang di hias-hias. Tulisan-tulisan yang rumit, tidak aku pahami. Mading yang penuh dengan kertas artikel dan gambar-gambar. Sepertinya mereka rajin menjadwal mading kelas. Pasti kelas yang membosankan, kaku dan pastinya menjenuhkan. Mengapa aku merasa kasiahan pada mereka, manusia statis yang hanya memburu nilai.

Aku sudah menyusun rencana untuk pagi ini, seperti yang aku janjikan pada teman-temanku, akan ku buat masalah untuk para anak OSIS sok taat peraturan itu. Aku sudah mempelajari beberapa kebiasaan mereka saat mengawasi atau sedang memberi materi saat eskul, anggota OSIS rata-rata adalah dewan-dewan Pramuka dan PMR. Sepertinya permen karet yang ku kunyah sedari tadi sudah mulai lumat dan kenyal, pasti sangat lengket dan berludah sekarang.

Pertama aku akan menempelnya di meja paling depan terdekat dengan pintu, dan juga pintu bagian luar yang terbuka kedalam. Tempat-tempat yang selalu di gunakan untuk bersandar ketika mereka di dalam kelas saat sedang menunggu kami melakukan hukuman, sambil mengomel-omel memberi intruksi kepada kami. Sempurna, semua ranjau sudah terpasang. Tinggal menunggu mereka datang, dan aku berakting membersihkan kelas.

Sepertinya salah satu dari OSIS sedang menuju ke kelas ini, waktunya aku memegang sapu. Suara sepatunya semakin dekat, sepertinya besaral dari kelas X2 sehingga aku tidak melihat langsung lewat jendela kelas ini. Semoga rencana kali ini berhasil. Aku akan membuat cerita yang menarik untuk teman-temanku.

Suara detak sepatunya semakin dekat, aku jadi tidak sabar melihat siapa anggo OSIS tersebut. Aku duduk di bangku paling depan paling jauh dari pintu masuk, menunggu sosok mengerikan yang semoga terjebak oleh jaring-jaring lengket di beberapa tempat kelas ini. Aku merasa seperti laba-laba jahat yang sedang menunggu mangsa datang untuk disantap. Bayangan tubuhnya mulai terlihat karena pancaran cahaya matahari pagi yang rendah sehingga bayangan begitu panjang. Sepertinya anggota OSIS itu seorang wanita. Dan.

Aku terdiam, dia juga terdiam. Suasana hening. Dia berdiri di depan pintu kelas yang terbuka. Pandangannya kaget, seolah ingin berteriak namun tertahan. Aku juga tak menyangka siapa dia. Seorang gadis berjaket merah, dengan tas slempang berwarna pink berdiri di ambang pintu. Aku tak mengenalnya, mungkin begitupun dia, tak mengenaliku.

Dia terlihat grogi pada saat itu, langkahnya mundur. Aku sontakk berdiri ingin mencegahnya. Berat rasanya mulut berucap, aku tak tau suasana apa yang sedang terjadi. Dia terus melangkah mundur dengan mulut menganga, sedang tanganku mencoba menujuk pintu. Tapi apa daya.

“hee… kamu jangan melangkah mundur, nanti kamu…,” kata-kataku terpotong tak ingin aku mengatakan apa yang menempel di pintu. Dia terus melangkah mundur. Sedang aku terus melangkah maju.

“Jangan sampai kena… aduh…,” dia seperti ingin mengatakan sesuatu.

“Anu… Anu, kamu siapa?,...”

“Aku,.. Anu,…”

“Siapa? Kenapa ada di kelasku,…” wajahnya terlihat ketakutan.

“Aku utusan OSIS… eh.. anu,…” akhirnya dia menempel ke pintu rajau tersebut.

“Aku disuruh bersih-bersih, gantiin piket hari ini,…”

Tiba-tiba datang seorang lagi, ternyata dia adalah anggota OSIS, kak Dewi. Merubah suasana kagok yang terjadi. Dia menjelaskan kepada gadis tersebut tentang identitas kedatanganku ke dalam kelasnya. Singkat cerita, gadis itu tenang dan meletakkan tas dan jaketnya di tempat duduknya, lalu dia duduk di kursi luar kelas. Menunggu kelas di bersihkan. Tak lama beberapa anak yang terkena operasi OSIS hari senin berdatangan. Karena aku sudah hadir lebih awal, kak Dewi mempersilahkan aku untuk mengakhiri sesi bersih-bersih kelasku. Setelah dia mempersilahkan aku keluar, dia bersandar ke meja terdepan. Dan.

“Aduh, rok ku kena apa ini, lengket…” dalam hati aku berbunga-bunga.

Langsung saja aku meninggalkan kelas sebelum dia menyadari ulah siapa. Saat aku mewati depan kelas, terlihat gadis yang tadi berjaket merah sedang duduk membaca buku.

“M..mmaaf tadi mba…”

“Oh…” wajahnya hanya cengar-cengir.

BERSAMBUNG DISINI

Saturday, March 7, 2015

Ada Tiadaku

No comments :
Malam kembali, pagi kembali, sekolah kembali, tertidur dikelas kembali, menjadi bahan gurauan guru-guru didalam kelas, kembali. Sama seperti hari sebelumnya. Sama seperti yang selalu kubayangkan tentang hidupku.
Seolah aku hanya sebuah bayangan yang tak akan pernah mampu memburu tubuhku sendiri. Dimana aku ada, hanya sebagai pigura kehidupanku yang seharusnya. Aku mungkin sebenarnya hanya sebuah kabut tipis di pagi yang menjelang terang, dimana tak ada seorangpun yang menyadari keberadaanku. Terang datang lalu kabut itu perlahan hilang, bersembunyi di balik tembok ketidak dianggapan.

Sekolah menjadi bagian kehidupanku dimasa ini, dimana manusia mendapat posisi kehidupan dengan jalan itu.
Tak ada aku pun sekolahku tak akan rugi, atau mungkin sebenarnya akulah beban utama bagi mereka. Hadirku tak hadir.

Gurauan-gurauan yang terjadi didalam kelas, antara mereka anak-anak kelas, tak sedikitpun aku berperan. Duniaku seolah hambar bagi mereka, imajinasi-imajinasi yang mereka anggap aneh dalam diriku, candaanku yang tak pernah bisa mereka anggap lucu. Kini aku sebenarnya dijauhi karena keanehanku. Membuatku merenung tentang siapa aku. Apakah aku lain dengan yang lain, apakah aku beda dengan yang beda.

Didalam kelas ini, sendiriku ku buat dalam dimensi duniaku sendiri, diamku sebenarnya ramai dalam hatiku. Temanku terimajinasi dalam otakku, yang kuciptakan sesuka hatiku, yang ku narasikan semau apa yang ku ingin. Ramai, sepi, gurauan, hinaan, bahkan menggambarkan aku dalam peperangan bisa aku goreskan dalam imajinasiku. Temanku adalah diriku, yang bisa aku bunuh sewaktu-waktu dan kuhidupkan ketika ku rindu.

ada tiadakuWaktu terus berjalan, jam-jam pelajaran berlalu tanpa aku merasakan mereka ada dan untukku mereka diadakan. Waktuku kuhabiskan untuk bercengkrema dengan diriku sendiri, menafikkan lingkungan sosial sekitar, bahkan kadang tak sadar aku ditemani manusia nyata satu meja dikelas ini. Dia pun lebih sering bercerita ria disaat waktu luang dengan mereka meja sebelahnya. Aku hanya diam, aku tak bisa menarasikan perbincangan. Satu masalah terkadang ku bicarakan kepadanya, tapi dua tiga kalimat keluar dari mulutku saja, setelah itu kata-kataku hambar. Bahkan ditelingaku sendiri.

Aku lebih mudah menjawab dari pada bertanya. Walaupun beribu pertanyaan berputar-putar dalam otakku, tak satupun layak untuk ku utarakan bagi mereka anak-anak kelas. Karena pertanyaan itu seperti lingkaran yang jika dijawab, jawaban itu adalah pertanyaan. Semua pertanyaan itu terkadang menggempur di saat-saat aku harus beristirahat memejamkan mata di gelap malam. Jam pelajaran kembali berlalu, tanpa aku paham apa, mengapa, dan bagaimana isi pelajaran tadi.

Pak Sudrajat melangkah memasuki kelas, sepatunya bersuara tak-tak-tak. Membangunkan lamunan panjangku, wajahnya tersenyum memandang kesetiap sudut kelas. Melihat-lihat sekitar mencari yang janggal.

“Di… maju sebentar!,”

Aku tersentak dalam diam, bingung dan takut. Ketidak mampuanku dalam mata pelajaran selalu menakutiku ketika para guru memberi perhatian kepadaku. Langkah lunglai menuju kedepan di iringi pandangan seisi ruang kelas. Pandangan sumringah yang mungkin mereka harapkan dariku hal kebodohan yang bisa ditertawakan.

“Tolong hapuskan papan tulis Di!...”

“Iya pak,…” beliau tersenyum saja melihatku.

“Kamu jangan duduk dulu, bapak minta tolong sekali lagi…” beliau berdiri dari kursinya, menanyakan pekerjaan rumah yang ia tugaskan kepada semua anak. Sambil sesekali memandang wajahku yang mulai tak tenang. Beliau terus berbicara, menanyakan hasilnya, apakah sulit untuk dikerjakan kepada anak kelas, dan membiarkan aku berdiri didepan layaknya seorang yang berada diatas podium, sedang dipersilahkan untuk mengutarakan pandangannya terhadap sebuah permasalahan, oleh seorang pembawa acara, pak Sudrajat.

“Adi sudah mengerjakan?...”

“Sudah pak, tapi belum selesai…” jawabku lemah.

“Tidak papa, kerjakan satu soal di papan ya,… nanti bapak bantu kalau kesulitan,”

Kuambil satu kertas di dalam tas setelah mencari dalam berserakannya isi tas itu, hanya ada satu buku tulis yang selainnya adalah kumpulan kertas hvs tempat ku menuangkan gambar-gambar dan tempat catatan-catatan kecil pelajaran. Dari sepuluh soal mtk, telah kujerjakan lima diantaranya dan dua soal berhasil kuselesaikan, tanpa ku yakin kebenarannya.

Spidol hitam bergerak membentuk angka-angka di papan, di dalam genggamanku ia tidak mantap seolah ingin meloncat didorong oleh ketidak percayaan diriku akan hasil yang telah aku kerjakan sendiri. Berulang-ulang penghapus merecoki hasil kerja si sepidol, mencoba memperingati spidol bahwa karyanya memiliki cacat, tapi apa daya sepidol memiliki kuasa, dia terus menulis dalam genggaman tangan kanan, tempatnya agung di kanan, sedang penghapus adalah sisi bijaksana yang selalu berusaha menghapus kesalahan sepidol, sedang berada di sisi tangan kiri. Seolah sisi kanan-kiri menyimbolkan kedudukan dan nilai tersendiri sehingga benda apapun yang berada di sisi kanan adalah lebih baik, kiri dengan kerendah hatiannya menerima nasibnya karena di tempatkan sebagai negative oleh system perspektif. Maaf… maaf,… aku menghidupkan benda mati dalam imajinasiku. Aku tak bermaksud. Diri dalam diriku yang lain tak sadar baru saja terbangun.

“Sudah pak…,”

“Oh sudah… sekarang kamu boleh duduk, terimakasih atas kerjaan PR mu,…” aku tersenyum dan berjalan menuju bangku ku di pojok belakang. Langkahku mantap berbeda dengan saat ku maju.

“Nah… Ini kerjaannya Adi betul, … kapan kamu ngerjakan soal ini Di?,…”

“Tadi malam pak,…”

“Yang lain, ada yang mau maju nomer selanjutnya?,…” pak Sudrajat menawarkan tugasnya kepada yang lain. Andai malam tadi aku bisa tertidur pulas lebih awal, dan tak terpenjara dalam pertanyaan kenapa aku tidak bisa berhenti untuk berfikir… soal itu tak akan tersentuh.