ceritakansaja.com

cerita itu perlu

Tuesday, April 28, 2015

Sakit Hati "Apa Hanya Karena "Kenapa

No comments :
Sakit Hati apa hanya karena kenapa
SIAPAKAH AKU?


“Apa?...”

Suara lemah menggema, suara pertanyaan dari dalam jiwaku sendiri. “Apa…

Jika sudah lelah jiwa berkata “Apa…” dia baru mulai membawaku kedalam ruang hampa. Ruang hampa dambaanku sejak mata merah ini mulai terpejam.
Namun, tak pernah mudah aku meminta jiwa sesegera mungkin membawaku kedalam ruang itu, dia selalu bermain kata dahulu, “Apa…, terlebih marah aku jika jiwa lalai menyembunyikan teman “Apa…, “Kenapa…,” dia datang tanpa satu pun pihak menyetujui. Tak mengapa “Apa… selalu dibawa jiwa dalam permainan katanya, masih bisa mata hati dan rasa nyata berusaha menjawab maknanya, menguak dibalik “Apa…, tapi ketika jiwa mulai lupa harus menyembunyikan “Kenapa…, maka ketika jiwa sudah ingin membawaku ke dalam ruang hampa yang kurindu, aku, ku yang tak mampu, tak mampu ku menjawab “Kenapa… lagi-lagi aku harus melawannya, mengusirnya, meninggalkanku, “Kenapa…

Tak pernah mudah dia pergi, “Kenapa… dia lebih merisaukan dari pada “Apa…

Lagi-lagi, jiwa memaksaku pergi menuju keruang hampa, tanpa harus aku bisa mengusir “Kenapa… Aku menangis, kenapa aku menangis.

“Apa… dia sudah diam dipojok kekalahan setelah ku patahkan semua pertanyaannya. Diam lara, “Apa… merenung akan kekalahannya kepada “Kenapa…” “Apa… berteriak lirih, mengutuk “Kenapa…” meninggalkan dunia jiwa.

Jiwa tak pernah sadar, tak pernah sadar, tak pernah sadar dia membawa “Apa… dan hanya melukainya. Jiwa terlalu menganggap sahabat “Apa…” dan “kenapa…,” hingga jika “Kenapa…” datang lagi di ambang jiwaku, jiwa hanya bisa berjabat tangan dan menyuguhkan senyum. Padahal, padahal “Apa… memendam dendam kepada “Kenapa…” kenapa “Kenapa…” selalu yang bisa membuatku tersiksa dan sering tidak bisa menjawab “Kenapa…”

“Kenapa…!!!!...”




Wednesday, April 8, 2015

Malam Di Pantai Bag 3

No comments :
MALAM DI PANTAI

( bagian 3 )

“Ada yang ingin kubicarakan, Pak,” ucapku tiba-tiba kepada Pak Sis. Saat itu Pak Sis tengah membaca koran sore langganannya.

“Oh, boleh saja. Memangnya ada apa?” tanya Pak Sis heran melihat sikapku yang tak biasa ini.

Malam Di Pantai Bag 2

No comments :
MALAM DI PANTAI

( bagian 2 )

Dengan wajah yang penuh dengan keringat, aku memasak nasi goreng yang baru saja dipesan oleh seorang siswa. Kelihatannya di tengah mengikuti studi wisata yang diselenggarakan sekolahnya. Suatu hal yang lumrah di sini. Pantai selalu menjadi tujuan wisata baik bagi orang dewasa maupun anak sekolahan.

Sudah lebih dari tiga bulan aku berada di pantai ini. Begitu ‘kejadian itu’ terjadi, dengan perasaan kalut dan kebingungan melarikan diri dari rumah. Meninggalkan jenazah Ayahku yang masih terbaring di atas lantai. Setelah mengambil barang yang bisa kuambil di rumah, aku langsung keluar rumah dan menaiki angkutan umum pertama yang kutemui. Aku tak tahu harus pergi ke mana. Aku hanya ingin pergi jauh-jauh dari rumahku. Dari bekas kejahatanku.
Entah bagaimana kejadiannya, aku sampai di pantai ini pada malam hari. Karena kelelahan dan rasa takut yang membebani kepalaku, aku pingsan di di pesisir pantai, hanya beberapa meter dari bibir pantai.. Untunglah ada seorang lelaki cukup tua yang menemukanku tak berdaya di sana. Singkat cerita dia membawaku ke rumahnya dan merawatku. Kepadanya aku mengaku bahwa aku baru saja kehilangan kedua orang tuaku (aku tak menceritakan kejadian detailnya) dan juga tidak memiliki tempat tinggal. Dan beliau langsung percaya saja padaku. Lelaki tua yang kemudian kupanggil Pak Sis ini tanpa bertanya panjang lebar mengizinkanku tinggal bersamanya. Pak Sis berkata bahwa dia hanya tinggal sendirian dan tengah membutuhkan tenaga bantuan di warung makannya yang ada di pantai ini.

Aku pun kemudian tinggal di sini. Tanpa kusadari sudah tiga bulan aku berada di tempat ini. Di tempat pelarianku ini. Sembari terus bekerja, aku berusaha mengubur dalam-dalam tragedi masa lalu .Aku selalu menghindari koran maupun acara berita kriminal yang ada di televisi. Sekalipun aku ragu apakah berita kematian Ayahku akan masuk di televisi, aku selalu menghindari acara berita.

“Sudah selesai?” suara seorang perempuan terdengar dari balik punggungku.

“Ya, ini sudah siap,” jawabku. Sambil mematikan kompor gas. Begitu nasi goreng yang kubuat telah selesai, dengan cekatan perempuan itu membawanya ke pemesan.

Perempuan itu bernama Laras. Dia juga bekerja kepada Pak Sis di warung makan ini, bahkan sejak aku belum ke sini. Sikapnya yang ceria dan supel membuatku bisa akrab dengannya. Dia cantik dan feminim, tetapi kadang-kadang dia bisa terlihat agak tomboy. Meski dia sangat bertolak belakang dengan Ibuku, entah mengapa terkadang aku merasa teringat dengan Ibuku saat aku memandang wajah Laras.

Masih teringat olehku godaan dari Pak Sis beberapa waktu yang lalu.

“Bagaimana pendapatmu tentang Laras?” tanya Pak Sis tiba-tiba pada suatu malam.

“Maksud Pak Sis?” aku balik bertanya.

“Cuma mau tahu saja, apa pendapatmu tentang dia.”

“Kurasa dia gadis yang baik, meski terkadang sedikit keras kepala,” jawabku sekenanya.

“Menurutmu dia cantik tidak?” buru Pak Sis.

“Lumayan cantik.”

“Kalau begitu kenapa kamu tidak menjalin hubungan dengan dia?”

Aku yang saat itu tengah makan malam hampir tersedak mendengar ucapan Pak Sis barusan.

“Kami tidak punya hubungan seperti itu, Pak,” bantahku cepat setelah menenggak segelas air.

“Punya juga tidak apa-apa,” balas Pak Sis nyengir jahil sambil beranjak ke kamarnya meninggalkanku sendirian. Terkadang, aku merasa Pak Sis bersikap tak sesuai dengan umurnya.

Tak diragukan lagi, sebenarnya diam-diam aku memang jatuh hati kepada Laras. Wajahnya yang manis dengan senyumnya yang khas dan juga sikapnya yang baik tentu saja menarik hatiku sebagai seorang laki-laki. Sikapnya yang terkadang sedikit tomboi dan tak mau mengalah malah membuatku penasaran terhadapnya.

Apakah Pak Sis dapat membaca perasaanku itu? Meski begitu aku sadar bahwa aku sama sekali tak pantas untuk bersanding bersama perempuan sebaik Laras. Aku hanyalah seorang buronan yang tengah melarikan diri. Seorang pembunuh yang dengan tega telah membunuh ayah sendiri dan dengan begitu pengecutnya melarikan diri dari itu semua.

Setiap aku bertemu dengan polisi atau mendengar suara sirine mobil polisi yang melintas, jantungku selalu berdebar keras seolah mau lepas dari tempatnya dan punggungku lansung basah oleh keringat. Bahkan sekalipun aku tahu bahwa polisi tersebut tak berniat mencariku, aku tetap tak bisa meredakan jantungku yang berdetak begitu kencang.

Aku juga tidak pernah lagi bisa tertidur dengan nyenyak. Tiap aku terlelap, sosok ayahku yang berlumuran darah selalu muncul dalam mimpiku. Aku sering terbangun tiba-tiba dengan badan penuh keringat di tengah malam dan tak bisa lagi mlanjutkan tidurku. Kalau itu terjadi, dengan diam-diam aku pergi keluar meninggalkan rumah Pak Sis menuju tepi pantai. Di sana aku duduk sendirian di atas pasir memandangi lautan yang berombak. Hanya begitu untuk menghabiskan malam. Begitu pagi menjelang, aku dengan diam-diam pula kembali ke dalam rumah Pak Sis sebelum beliau bangun.

Aku selalu bersyukur bahwa saat aku kebingungan tanpa arah dulu, aku bisa sampai ke tempat ini dan bertemu dengan Pak Sis. Beliau mengizinkan aku tinggal di rumahnya sekalipun aku hanyalah orang asing baginya. Karena itulah aku selalu bekerja dengan giat dan berusaha keras untuk tidak mengecewakan penyelamat hidupku tersebut. Kepada warga sekitar, Pak Sis memperkenalkanku sebagai ‘anak dari saudara jauh yang telah meninggal’. Agar orang-orang tidak berpikir macam-macam, begitu kata Pak Sis padaku.

Dulu Pak Sis sebenarnya tinggal bersama seorang istri dan seorang anak lelaki yang seumuran denganku. Sayangnya, lima tahun silam keduanya meninggal akibat peristiwa tabrak lari. Sampai saat ini pelakunya belum tertangkap. Sepeninggal keduanya Pak Sis tinggal sendirian di rumahnya dengan tetap menjalankan warung makannya yang sederhana bersama Laras. Hingga tiba-tiba aku muncul di pantai ini.

Mungkin karena aku juga sebatang kara yang menyebabkan Pak Sis membolehkan aku tinggal bersama beliau. Di tempat ini aku menjalani hari-hari yang damai meski masih dihantui kenangan atas kejahatan di masa lalu. Entah sampai kapan situasi ini akan bertahan.

Hingga suatu hari, kudengar kabar yang tak ada hubungannya denganku, tetapi cukup untuk membuatku terkejut. Laras dilamar oleh seorang lelaki yang dulu merupakan teman SMP Laras. Sekalipun aku tak mengharapkan hubungan yang lebih dari sekadar sahabat dengannya, harus kuakui dalam hati aku merasa lega ketika mendengar bahwa Laras menolak lamaran tersebut.

Aku pun menanyakan tentang hal itu kepada orangnya langsung.

“Laras, kenapa kamu menolak saat kamu dilamar kemarin?” tanyaku saat warung tengah sepi pelanggan.

Laras membalik badannya dan menatapku sambil memperlihatkan senyum khasnya, ”Kamu benar-benar ingin tahu?”

Aku agak terpesona melihat wajah Laras yang terseyum kepadaku.

“Ya… cuma ingin tanya saja.”

“Soalnya bukan dia orang kusukai,” jawab Laras kalem. Begitu sederhana, tetapi memancingku untuk bertanya: lantas siapa orang yang kamu sukai? Tetapi tak kutanyakan pertanyaan tersebut.

“Orang tuamu tak keberatan? Usiamu sudah cukup untuk menikah, lho.”

“Ayah menyerahkan keputusan sepenuhnya kepadaku. Kalau Ibu sih kelihatan sedikit kecewa. Tapi tak apa-apa.”

Aku mengerti. Aku pernah mendengar bahwa dulu ayah Laras pernah memaksa kakak perempuan Laras untuk menikahi anak lelaki dari teman ayah Laras. Rumah tangga mereka berdua berantakan dan berakhir dengan kematian kakak Laras yang bunuh diri menggunakan racun serangga. Wajar saja bila kini ayah Laras menyerahkan sepenuhnya keputusan soal pernikahan kepada Laras meski aku yakin Laras tak akan pernah melakukan bunuh diri.

Obrolan kami kemudian berlanjut ke masalah-masalah biasa. Setelah percakapan itu, sempat terpikir olehku mengenai masa depanku yang tak jelas arahnya. Malamnya, untuk kesekian kalinya aku mengalami mimpi yang sama seperti sebelum-sebelumya. Aku melihat sosok Ayahku yang berlumuran darah dengan perlahan-lahan berjalan mendekatiku. Aku terbangun dengan badan penuh dengan keringat dan tak bisa melanjutkan tidurku meski aku sudah berusaha. Kemudian aku pergi ke tepi pantai, seperti malam-malam sebelumnya.

Di sana aku bertanya-tanya tentang bagaimana masa depanku kelak. Apakah aku akan terus menetap di pantai ini sambil bersembunyi dari kesalahanku di masa lalu? Ataukah pada akhirnya aku harus bertanggung jawab atas kematian Ayahku? Aku terus memikirkan hal itu hngga tidak menyadari bahwa ada di belakangku seseorang yang tengah berjalan mendekatiku.

“Rendi?”

Aku terkejut mendengar seseorang memanggil namaku. Begitu berbalik aku mendapati sesosok perempuan memakai piyama coklat tebal dengan rambut hitam panjang melambai oleh angin.

Laras.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” Aku yang masih terkejut bertanya kepada Laras.

“Itu yang tadi ingin kutanyakan padamu,” balas Laras. Kemudian dia ikut duduk di atas pasir, beberapa meter dari tempat dudukku.

“Aku tidak bisa tidur,” kataku kemudian. “Aku biasa ke sini bila sulit tidur.”

“Kamu tidak takut hantu?” tanya Laras

“Tentu saja tidak,” jawabku. “Bukannya kamu yang lebih aneh, seorang gadis sendirian pergi ke pantai tengah alam begini?”

Laras tertawa perlahan. “Ya, kamu benar juga.”

Kami berdua terdiam. Sementara di depan kami ombak terus berdebaran tanpa henti.

“Aku juga sedang tidak bisa tidur,” tiba-tiba Laras bersuara.

“Kenapa?” tanyaku.

Laras menatap jauh ke arah lautan. “Aku tengah gelisah memikirkan sesuatu. Entah kenapa aku merasa dengan pergi ke sini aku akan menemukan sesuatu. Dan ternyata kamu sedang ada di sini. Mungkin … ini yang disebut dengan takdir.”

Aku ke sini hampir tiap malam, kataku dalam hati. Jadi bila suatu waktu Laras pergi ke tepi pantai pada tengah malam, dia pasti akan bertemu denganku. Meski begitu, aku tidak mengatakan hal itu kepada Laras.

“Memangnya kamu sedang gelisah memikirkan apa?” tanyaku kemudian. “Jangan-jangan kamu menyesali keputusanmu menolak lamaran kemarin.”

“Sama sekali tidak,” jawab Laras mantap. “Meski masih ada hubungannya dengan masalah lamaran.”

“Kalau bukan, lalu apa?”

Laras menghembuskan napas berat. “Aku tengah bertanya-tanya, apakah kira-kira kelak aku bisa menikah dengan pria yang benar-benar kusukai.”

“Kenapa tidak?” balasku. “Aku yakin kamu bisa bersama dengan laki-laki yang benar-benar kau cintai. Dengan sedikit usaha, tentunya,” Dan aku sangat iri dengan laki-laki itu, bisikku dalam hati.

“Tidakkah memalukan jika pihak perempuan yang mengungkapkan perasaanya terlebih dahulu?” tanya Laras lagi.

“Kurasa tidak masalah,” jawabku. “Berarti… saat ini ada seseorang yang tengah kau sukai ‘kan?”

Tiba-tiba wajah Laras memerah. Manis sekali. “Ya… begitulah…”

“Kalau boleh tahu, siapa orang itu?” tanyaku sambil berusaha tersenyum sekalipun rasanya aku patah hati.

Laras memilin-milin ujung rambutnya yang panjang. Kemudian dengan perlahan dia berkata, “Orang itu adalah… kamu.”

Sekalipun suara Laras begitu pelan, rasanya aku seperti tersambar petir mendengar jawaban dari Laras yang begitu terang-terangan tersebut. Aku tidak menyangka, ternyata Laras juga memiliki perasaan yang sama denganku. Atau jangan-jangan… aku saja yang tidak peka selama ini.

Meski aku merasa sangat senang dengan pernyataan cinta Laras barusan, aku sadar bahwa aku tidak layak menerima cinta Laras. Aku hanyalah seorang buronan yang selalu dihantui mimpi buruk. Laras berhak mendapatkan lelaki lain yang lebih baik daripada aku. Sekalipun terasa berat dan menyakitkan, aku harus menolak perasaan cinta Laras.

“Aku juga mencintaimu, Laras,” tiba-tiba telingaku mendengar ada seseorang yang mengucapkan kalimat itu. Tetapi tidak kudapati orang lain di tempat itu selain aku dan Laras. Dan anehnya, suara orang tersebut terdengar seperti suaraku.Tunggu... ataukah jangan-jangan memang aku yang mengucapkannya?

Dengan ragu-ragu aku mencoba melihat ke arah Laras. Laras yang terlihat terkejut mendengar ucapanku barusan. Wajahnya mendadak memerah. Dia tidak tahu, bahwa aku sendiri lebih terkejut karena telah mengucapkan hal tadi. Lancang benar mulutku ini!

Kami berdua langsung saling mengalihkan pandangan. Aku tidak tahu lagi bagaimana wajahku sekarang. Suasana canggung langsung muncul di antara kami.

“Aku… duluan,” ucap tiba-tiba Laras memecah kebekuan di antara kami berdua. Dia berdiri dan langsung berjalan pulang ke rumahnya. Meninggalkanku sendirian di tempat ini yang masih tidak percaya dengan kejadian barusan.

--o0o--



Setelah Laras sudah tak terlihat, aku masih memikirkan kejadian menakjubkan yang baru kualami tadi. Itu adalah pertama kalinya ada seorang gadis yang menyatakan cinta kepadaku. Ditambah lagi, gadis itu adalah gadis yang memang kucintai. Sebagai seorang pemuda yang miskin pengalaman cinta, tentunya itu adalah sebuah momen yang tak terlupakan.

Tetapi sejenak kemudian aku malah kebingungan Apa yang akan terjadi antara aku dan Laras? Dia telah mengungkapkan perasaanku dan tanpa sengaja aku juga melakukan hal yang sama kepadanya. Apakah dengan ini kami akan menjadi sepasang kekasih?

Aku menggeleng pelan. Tidak. Bagaimana pun, Laras terlalu baik untukku. Sempat terlintas dalam benakku gagasan di mana aku bisa bersama-sama Laras dan tetap menyembunyikan diriku yang sebenarnya seorang buronan, penjahat, pembunuh. Tetapi aku sadar bahwa aku takkan melakukan hal seperti itu.

Apakah aku akan tetap bersama-sama dengan Laras sambil menyembunyikan kenyataan bahwa diriku adalah seorang penjahat, buronan, pembunuh?

alam perjalanan ke rumah Pak Sis yang singkat tersebut, entah bagaimana tiba-tiba aku merasa tahu jawabannya. Setelah berbulan-bulan lamanya aku dilanda kebingungan dan ketidakpastian, untuk pertama kalinya aku merasa tahu apa yang harus kulakukan.

BERSAMBUNG DISINI

Malam Di Pantai

No comments :
MALAM DI PANTAI

( bagian 1 )

Sebagai orang normal yang terkadang menonton televisi atau membaca buku-buku cerita, sering kutemui cerita tentang cinta sejati, yang tak lekang dimakan waktu, dan berbagai hal-hal romantis lainnya. Aku mengetahui bahwa itu hanyalah imajinasi manusia belaka. Tetapi di sisi lain, hal itu mengundang pertanyaan yang menggelitik di dalam benakku. Bisakah sebuah cinta dapat bertahan seperti saat untuk pertama kalinya perasaan cinta itu tumbuh? Bisakah cinta tetap ada setelah cinta itu terpisah begitu lama? Dan sekalipun memang ada... bisakah aku mengalami cinta yang semacam itu? Sebagai seorang lelaki yang realistis, aku jelas meragukan itu semua.
Kini, lupakan perihal cinta-cintaan itu. Sekarang aku tengah duduk di atas pasir pantai sendirian, menatap lautan gelap yang berombak tak mau diam. Terlihat mencekam, tetapi entah mengapa mendatangkan perasaan tak asing yang terasa nyaman. Angin malam di pantai ini menerpa kulitku. Membuatku mengenang kembali berbagai hal-hal yang dulu kualami di pantai ini tujuh tahun yang lalu.

Sesuai janjiku dulu, aku datang langsung datang ke tempat ini begitu aku diperbolehkan menghirup udara bebas. Padahal seharusnya aku mengunjungi makam Ibu dulu. Mungkin juga sekalian makam Ayahku. Tetapi aku sudah berjanji. Dan janji dibuat memang untuk ditepati.

Tadi siang, aku langsung menaiki angkutan menuju tempat ini begitu aku mendapatkan kesempatan. Seharusnya aku bisa sampai di pantai ini sore hari. Sayangnya entah bagaimana ceritanya angkutan yang kutumpangi tiba-tiba mogok. Mesinnya mati. Kupikir aku bisa menunggu sampai angkutan itu bisa jalan kembali. Tetapi ternyata tidak. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya aku menaiki angkutan lain. Sayangnya angkutan ini tidak langsung mengarah ke tempat tujuanku, memaksaku berganti angkutan lain di tengah perjalanan. Akhirnya aku baru sampai di tempat tujuanku ini pada malam hari.

Apakah nasib tengah bercanda kepadaku? Dulu ketika untuk pertama kalinya juga saat malam hari. Hanya saja kini kondisiku jauh berbeda dibandingkan dengan dulu. Dulu aku datang ke tempat ini dalam keadaan kacau dan pingsan begitu aku sampai. Tetapi kini lain. Aku datang ke tempat ini dalam keadaan bersih. Aku datang ke sini bukan untuk melarikan diri, melainkan untuk pulang. Meski begitu, waktu mulai memasuki tengah malam. Itu bukan waktu yang tepat untuk mengetuk rumah seseorang. Karena itulah kuputuskan untuk menunggu pagi datang dengan sekedar duduk di pesisir pantai ini, seperti yang dulu biasa kulakukan.

Sudah begitu lama aku meninggalkan tempat ini, tetapi semuanya terasa seperti baru terjadi kemarin. Aku ingin tahu, seberapa banyak tempat ini berubah semenjak kutinggalkan dulu. Apakah para penduduknya masih seramah dulu? Bagaimana keadaan Pak Sis sekarang? Bagaimana pula dengan usaha warung miliknya? Dan yang paling ingin kuketahui adalah bagaimana kabar Laras sekarang?

Aku tersenyum sendiri nama terakhir itu. Sudah bertahun-tahun aku meninggalkannya, wajar bila aku ingin tahu bagaimana kabar dia sekarang. Tentunya kini dia sudah menikah dengan seorang pria yang dapat membahagiakan dirinya. Seseorang yang lebih baik daripada aku. Bahkan mungkin kini dia telah memiliki anak yang menggemaskan, sebagaimana ibunya. Aku yakin, Laras akan menjadi istri sekaligus ibu yang baik dan setia. Meski begitu, Laras tidak perlu menjadi perempuan seperti Ibuku. Setia kepada orang salah. Sehingga Laras tak perlu merasakan penderitaan yang dulu pernah Ibu rasakan.

Ibuku adalah seorang perempuan yang lembut dan penyabar. Tak pernah kulihat satu kali pun Ibu marah kepada seseorang. Sebaliknya, Ayahku adalah seorang yang tegas. Bila aku bandel, Ayah tanpa ampun akan memukuli pantatku keras-keras menggunakan sapu lidi. Kalau sudah begitu, Ibu akan segera datang untuk membelaku.

Ayah bekerja sebagai supir truk. Bila dia sedang membawa muatan ke tempat yang jauh, ke provinsi lain misalnya, Ayah bisa pergi selama beberapa hari sampai lebih dari seminggu. Aku heran kenapa Ibu bisa bersabar meski selalu ditinggal-tinggal oleh Ayah. Apakah Ibu tidak kesepian? Kalau aku, selama ada Ibu di rumah semuanya tidak menjadi masalah. Pernah kutanyakan hal itu kepada Ibu. Ibu tersenyum mendengar pertanyaanku kemudian menjawab, ”Kamu tak akan pernah mengerti ketegaran seorang perempuan yang tengah menanti, Rendi.”

Keluarga kami memang bukanlah keluarga yang kaya. Meski begitu, keluarga kami tidak pernah kekurangan dan tidak pernah mengalami masalah yang berat. Hingga suatu waktu Ayah jarang pulang ke rumah.

Sejak dulu, karena profesinya, Ayah memang sering meninggalkan rumah untuk waktu yang lama. Tetapi saat aku sudah beranjak kelas 3 SMA, Ayah jadi semakin sering tidak ada di rumah. Bila dia pergi, bisa sampai lebih dari dua minggu. Ayah hanya pulang untuk beberapa hari untuk kemudian pergi lagi.

Aku sempat curiga dengan perubahan ini. Saat kutanya, Ayah hanya menjawab,”Ini urusan pekerjaan, Ndi. Ayah semakin sibuk.” Entah kenapa aku sulit untuk percaya. Hingga kudengar kabar burung bahwa Ayah sebenarnya telah menikah lagi dengan seorang perempuan di daerah lain.

Aku terkejut setengah mati saat mendengar kabar itu. Saat itu Ayah sedang tidak ada di rumah. Ibu menyuruhku untuk tidak langsung percaya. Tetapi aku tahu bahwa Ibu sebenarnya juga gelisah memikirkan hal itu. Begitu Ayah pulang, ingin langsung kutanyakan kebenaran kabar tersebut. Tetapi Ibu melarangku. Beliau berkata bahwa beliau-lah yang akan memastikan.

Tetapi Ibu tidak kunjung bertanya. Saat kudesak, Ibu hanya menjawab,”Ibu belum menemukan saat yang tepat, Rendi,” Hingga suatu hari Ibu tiba-tiba jatuh sakit. Aku tidak tahu apa penyakit beliau, tetapi aku merasa bahwa Ibu menderita penyakit yang parah. Obat dari puskemas tak banyak membantu. Ingin kubawa Ibu ke rumah sakit, tetapi baik Ibu maupun aku tidak memiliki uang yang cukup. Saat aku ingin mencari keberadaan Ayah yang tak kunjung pulang, entah kenapa Ibu malah melarangku.

“Pada saatnya nanti, Ayah akan pulang , Rendi…” ucap Ibu lemah.

“Tapi kenapa, Bu…?”

“Rendi, kamu tak akan pernah mengerti ketegaran seorang perempuan yang tengah menanti,” ucap Ibuku lagi.

Dan kenyataannya aku memang tidak mengerti. Aku tidak mengerti mengapa Ibu bersikeras melarangku mencari Ayah. Apakah Ibu takut aku akan menemukan sesuatu? Aku juga tidak mengerti mengapa aku tidak bisa menghubungi ponsel Ayah untuk member kabar bahwa Ibu sakit. Tetapi aku mengerti satu hal. Adalah kesalahan Ayah ketika pada akhirnya Ibu meninggal. Dan Ayah tidak kunjung pulang.

Beberapa hari setelah pemakaman Ibu, Ayah tiba-tiba pulang. Dia pulang seolah-olah baru beberapa hari dia meninggalkan rumah. Padahal Ayah sudah pergi selama hampir tiga bulan. Aku tidak bercerita apa pun hingga Ayah akhirnya dengan entengnya bertanya,“Ibu di mana? Sedang ke pasar, ya?”

Dengan susah payah menahan perasaan emosi, aku menceritakan kematian Ibu kepada Ayah. Ayah tentu saja terkejut. Tetapi betapa kecewanya aku saat Ayah tidak langsung menanyakan di mana Ibu dimakamkan. Ayah malah masuk ke kamar dan menguncinya dari dalam.

Esoknya, tiba-tiba Ayah menawariku tinggal bersama pamanku di Jakarta untuk mencoba mencari pekerjaan. Saat itu aku memang belum lama lulus SMA dan belum memiliki pekerjaan tetap. Meski begitu, aku menangkap maksud lain dari tawaran Ayah.

“Ayah ingin menyingkirkanku sehingga Ayah bisa tinggal bersama istri baru Ayah?” ucapku sinis.

Ayah tampak terkejut mendengarku. Wajahnya seperti seorang pencuri yang baru tertangkap basah melakukan kejahatan. Juga mirip ekspresi anak SD yang ketahuan mengompol di celana. Aku juga sedikit terkejut melihatnya. Apakah Ayah mengira bahwa dia benar-benar bisa menyembunyikan hal itu dari aku dan Ibu?

“Kalau begitu, silakan saja tinggal bersama wanita murahan itu. Aku takkan mengganggu,” tambahku. Kuluapkan semua emosiku yang selama ini telah kupendam.

“Jangan kurang ajar kamu, Rendi!” Ayah juga tersulut emosinya.

Aku tak terlalu ingat persis bagaimana awalnya hingga kami berdua terlibat perkelahian. Suatu hal yang tak pantas dilakukan oleh seorang ayah dan anak, tentunya. Ketika Ayah mengambil asbak untuk memukulku, aku langsung mengangkat bangku kayu dan memukulkannya lebih dulu ke kepala Ayah. Aku tidak tahu setan mana yang merasuki diriku. Tanpa ampun kupukulkan kursi bangku itu ke tubuh Ayah berkali-kali hingga Ayah tidak lagi mengeluarkan suara.

Aku berhenti sambil terengah-engah kelelahan. Kutatap tubuh Ayah yang tergeletak di lantai. Tiba-tiba cairan merah kental mengalir di atas lantai dari tubuh Ayah. Cairan itu tak kunjung berhenti membuatku jantungku terasa berhenti. Langsung kuperiksa tubuh Ayah. Kemudian aku menyadari satu hal. Aku telah membunuh Ayah.

BERSAMBUNG DISINI

Humor Just Kidding Biasa

No comments :
ERROR ENGLISH

Paijo (bukan nama sebenarnya) yang baru belajar bahasa Inggris tanpa sengaja menabrak seorang bule ketika berjalan. Kemudian Paijo (masih bukan nama sebenarnya) pun menunjukkan ‘kemampuan bahasa Inggris’-nya.

PAIJO : I am sorry, Sir.

BULE : I am sorry, too.

PAIJO : (Nggak mau kalah) I am sorry three, Sir!

BULE : (Bingung) What are you say ‘sorry three’ for? (Untuk apa kamu mengucapkan ‘sorry three’?)

PAIJO : (Masih nggak mau kalah) I am sorry five, Sir!

BULE : (Tambah bingung) ‘Sorry five’? Are you sick?

PAIJO : I AM SORRY SEVEN, SIR!!!

BULE : ?????


CITA-CITA

Suatu sore, seorang Ibu dan anaknya tengah bercakap-cakap.

IBU : Nak, kalau kamu sudah besar, kamu ingin menjadi apa?

ANAK : Aku ingin jadi pramugari, Bu.

IBU : (Ketus) Tidak, kamu tidak boleh menjadi itu! Cari cita-cita lain!

ANAK : Kalau begitu... aku ingin jadi peragawati saja.

IBU : Apa?! Tidak boleh! Kamu tidak boleh jadi peragawati!

ANAK : Ya sudah... aku ingin bidan saja. Biar bisa bantu ibu-ibu yang akan melahirkan.

IBU : Itu tetap tidak boleh!

ANAK : (Sedih) Jadi pramugari tidak boleh... peragawati dan bidan juga tidak boleh... Apa Ibu ingin aku jadi ibu rumah tangga saja..?

IBU : (Marah) BEJO...!!! KAMU INI ANAK LAKI-LAKI! CARILAH CITA-CITA YANG NORMAL!!!


UJIAN

AYAH : Kalau kamu gagal lolos ujian masuk ini lagi, jangan anggap lagi aku ayahmu! Mengerti?!

ANAK : Baik, Yah.

Setelah penngumuman hasil ujian keluar...

AYAH : Nak, bagaimana hasil ujianmu?

ANAK : Maaf, anda siapa, ya?


VITAMIN

Seorang ibu tiba di apotek untuk membelikan vitamin bagi anaknya yang masih kecil.

IBU : Mbak, saya mau beli vitamin buat anak saya.

PENJUAL : Vitamiin apa, Bu? Vitamin A, B, atau C?

IBU : Mana saja boleh, Mbak... Anak saya belum bisa baca, kok.


GARA-GARA NONTON INFOTAINMENT

JONO : Katanya kemarin kamu buang air di celana, ya?

PAINO : Iya, nih. Gara-gara nonton infotainment.

JONO : Lho, apa hubungannya?

PAINO : Waktu itu aku ‘kan sedang asyik nonton infotainment di rumah. Sewaktu mau iklan, pembawa acaranya nggomong begini: ‘Jangan beranjak ke mana-mana, tetap di depan layar kaca anda.’ Ya udah aku nurut. Padahal waktu itu aku udah kebelet banget.

JONO : Dasar bego...!!!



SENYUM

DARNO : Hei, kamu lihat tidak? Tadi wanita cantik yang lewat itu tersenyum padaku!

JONO : Ah, itu sih biasa. Dulu pas pertama kali melihatmu, aku hampir mati ketawa!


KABAR BURUK

DOKTER : Pak, dengan berat hati harus saya sampaikan kabar buruk kepada Bapak.

PASIEN : (Cemas) Apa itu, Dok?

DOKTER : Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan terhadap anda, kami memperkirakan bahwa umur anda tidak akan lama lagi.

PASIEN : (Kaget) Apa?!

DOKTER : Ya... umur anda tinggal sepuluh....

PASIEN : (Memotong) Sepuluh apa, Dok?? Sepuluh bulan?? Sepuluh minggu?? Sepuluh hari??

DOKTER : ...sembilan...

PASIEN : (Panik sekaligus bingung) Apa....???

DOKTER : ... delapan... tujuh.... enam......

PASIEN : ....!#!@#$@!?!?!


HITUNG-HITUNGAN ORANG SAKIT JIWA

Seorang dokter di sebuah RSJ ( Rumah Sakit Jiwa ) tengah mengetes kewarasan tiga pasiennya untuk menentukan apakah mereka sudah boleh keluar dari RSJ atau belum. Dokter tersebut mengetes mereka dengan soal matematika sederhana.

DOKTER : Coba jawab, berapa lima dikali lima?

PASIEN 1 : Kelinci, Dok.

Pasien pertama gagal. Dokter lalu mengetes pasien kedua.

DOKTER : Lima kali lima itu berapa?

PASIEN 2 : 12 juta.

Pasien kedua juga gagal. Dokter mulai putus asa. Dengan pesimis dokter tersebut mengetes pasien terakhir.

DOKTER : Coba kamu, lima kali lima itu berapa?

PASIEN 3 : Dua puluh lima, Dok.

DOKTER : (Kaget sekaligus senang) Kamu benar! Selamat! Kamu sudah boleh pulang dari tempat ini.

PASIEN 3 : Terima kasih, Dok.

DOKTER : Kalau boleh tahu, dari mana kamu mendapatkan jawaban yang benar?

PASIEN 3 : Gampang, Dok. Caranya kelinci dikurangi 12 juta.

DOKTER : ???????


BOCAH VS NENEK-NENEK

Seorang bocah tengah berjalan sambil memakan roti yang ada di tangannya. Tanpa sengaja roti itu terjatuh ke jalan. Bocah itu lalu hendak mengambil kembali roti itu tetapi seorang nenek-nenek melihatnya.

NENEK : (Melarang) Rotinya jangan diambil, Nak. Biarkan saja.

BOCAH : Memangnya kenapa, Nek?

NENEK : Itu rotinya sudah kotor dan bau tanah. Tak usah diambil.

BOCAH : ‘Kan sayang, Nek...

NENEK : Terserah, dibilangin orang tua tidak percaya.

Bocah itu akhirnya tidak jadi mengambil roti miliknya dan melanjutkan berjalan. Begitu pula nenek-nenek tersebut. Tetapi tiba-tiba nenek tersebut terpeleset dan jatuh. Karena tempat itu sepi, nenek-nenek itu meminta bantuan kepada bocah tadi yang belum berjalan jauh.

NENEK : (Meminta tolong) Nak, tolong bantu saya berdiri.

BOCAH : Ah, buat apa? Udah kotor, bau tanah lagi...


PEREBUTAN ANAK

Di sebuah pengadilan agama, sepasang suami istri yang telah bercerai tengah menjalani persidangan memperebutkan hak asuh anak mereka. Masing-masing merasa berhak mengasuh anak mereka yang cuma satu.

HAKIM : (Kepada istri) Bu, apa yang membuat anda merasa berhak mengasuh anak ibu tersebut?

ISTRI : (Menangis) Pak Hakim... saya yang telah mengandung anak itu selama sembilan bulan... setelah itu, saya yang menyusuinya dan merawatnya... ketika dia mulai besar, saya juga yang sering menemaninya di rumah....

HAKIM : (Mempertimbangkan) Hmm... Baik, baik... (Beralih kepada suami) Sekarang giliran anda, Pak. Apa yang membuat anda merasa berhak mengasuh anak anda?

SUAMI : (Tenang) Begini, Pak. Bayangkan saya tengah berjalan-jalan. Di tengah jalan, saya menjumpai mesin penjual minuman. Saya lalu memasukkan uang koin milik saya ke mesin itu. Mesin itu bergoyang sebentar, kemudian keluarlah minuman. Sekarang saya mau tanya, pak. MINUMAN ITU MILIK SAYA ATAU MESIN PENJUAL MINUMAN?


BEGO, MATI, DAN OTAK

Ada tiga sahabat yang masing-masing bernama Bego, Mati, dan Otak. Mereka bertiga bermain petak umpet. Karena kalah suit, Bego yang jaga. Sedangkan Mati dan Otak bersembunyi.

Setelah mencari, akhirnya Bego berhasil menemukan Otak. Selanjutnya tinggal mencari si Mati. Tetapi karena tiba-tiba Otak kebelet BAB, dia pergi ke WC terdekat. Begomencari sendirian.

Di tengah pencarian, Bego menyeberang jalan tanpa lihat kiri kanan terlebih dahulu. Karena hal tersebut, dia hampir tertabrak truk yang melintas. Untung supir truk tersebut sempat mengerem. Tetapi si supir marah-marah kepada si Bego.

SUPIR : KAMU INI BEGO, YA?!

BEGO : Iya, Pak. Saya memang Bego.

SUPIR : KAMU LAGI CARI MATI, YA?!

BEGO : Ya, Pak. Saya memang tengah mencari Mati.

SUPIR : OTAK KAMU DI MANA SIH...???

BEGO : Otak masih di WC, Pak.

SUPIR : ??????????????


OBAT 1000 MACAM PENYAKIT

Di pasar seorang tukang obat keliling tengah menawarkan obat jualannya.

“Dijual, dijual! Obat ajaib, bisa menyembuhkan 1000 macam penyakit!”

Seorang ibu-ibu yang kebetulan lewat dan tengah terserang sebuah penyakit merasa tertarik, tetapi masih agak ragu. “Ini obat benar-benar manjur, Pak?” tanya ibu itu pada si penjual.

“Obat ini benar-benar mujarab, Bu. Bisa menyembuhkan 1000 macam penyakit,” jawab si penjual.

Akhirnya ibu tersebut membeli obat itu dan meminumnya di rumah. Tetapi setelah beberapa hari, penyakit yang diderita si ibu tak kunjung sembuh. Merasa ditipu, ibu itu mendatangi penjual obat yang dulu.

“Anda menipu saya ya?! Katanya obat ini bisa menyembuhkan 1000 macam penyakit! Tetapi nyatanya penyakit saya tak sembuh-sembuh!” ucap si ibu kepada si penjual obat sambil marah-marah.

Si penjual obat dengan dengan kalem menjawab,”Mungkin penyakit ibu itu penyakit ke-1001.”


Dari berbagai sumber

Tuesday, March 17, 2015

Terperangkap Di Dalam Mesin Nilai: Vol. 1, p. 5

No comments :
Selepas sekolah aku dan gerombolanku, termasuk Intan, berkumpul di rental PS 2. Mungkin bukan hari keberuntungan kami, semua PS 2 di rental sudah di pesan. Dari sekian banyak PS di rental, rata-rata sudah dipesan minimal dua jam permainan. Akhirnya, kami bertujuh memutuskan untuk meninggalkan rental PS 2 tersebut.
“Terus kita mau kemana, masa langsung pulang?...” gelisah Dito.

“Lah emangnya mau kemana, mau cari rental lainnya?...” jawab Rudi sambil menstater motornya.

“Males banget kalo pulang langsung, ada yang punya saran ngga?...” tanya ku pada teman-temanku.

“Tan, kamu ada saran ngga?... Mungkin kamu tahu tempat menarik, ya apa lah terserah kamu...” Fajar yang sedari tadi berdiri di dekat Intan malah melempar pertanyaanku khusus kepada Intan.

“Yaa... Hehe... Aku ngga tahu tempat yang menarik, aku kan baru beberapa bulan disini...” jawab Intan.

Semua anak saling pandang, menggambarkan kebingungan mereka. Jafar dan Sulaiman beranjak menuju sepeda motornya.

Rudi sudah mulai memasukkan gigi motornya. Dito masih berdiri kecewa, terlihat wajahnya yang suram. Rencana untuk tidak pulang langsung sepertinya gagal.

“Hai... Lebih baik kita cari tempat makan atau tempat minum es, lagi pula kan niatnya kita mau main dulu sehabis sekolah, masa langsung pulang?... He...”

Melihat teman-teman barunya memutuskan untuk pulang, Intan memberi saran kepada kami. Mungkin dia merasa segan kepada kami, dan khususnya kepada Fajar yang berharap saran kepada Intan.

“Iya bener, bener kata Intan... Dari pada langsung pulang mending kita ngobrol-ngobrol dulu sambil minum es... Ada yang tahu penjual es yang enak?...”

Jelas Dito sumringah.

“Aku kira kamu tahu penjual es yang enak Dit, ternyata cuma...”

“Aku tahu penjual es yang enak, tempatnya di sebelah selatan sekolah, depan lapangan bola...” Sulaiman memotong protesku kepada Dito.

“Ok, ayo kita berangkat kesana,...” Senyum lebar Intan membuatku merasa tenang.

“Kamu mau dibonceng siapa In?” tanya Fajar kepada Intan.

Tiba-tiba Dito menarik setang sepedaku dan menarik bahuku mendekati Intan.

“Ya sama Bayu lah,... Iya ngga?...” Dito memandangi semua temannya, namun hanya wajah Fajar yang merengut.

“Aku...”

“Oke deh aku sama Bayu...” dengan terseyum kepadaku Intan mendekatiku.

“Ngga ingin dibonceng motor saja Tan?

"Emang ban sepadamu gembos apa?..."

"Ngga juga si..."

Teman-temanku sudah melaju dengan motorku, kecuali Fajar masih saja duduk di atas motornya memandangi aku dan Intan. Sepertinya Fajar merasa kecewa tidak membonceng Intan.

"Ayo Bay..." ajak Intan.

Di kelompokku hanya aku saja yang memakai sepeda, yang lain memakai motor untuk berangkat ke sekolah. Intan sendiri juga memakai motor, lebih tepatnya dia di antar oleh kakaknya memakai motor.

"Bukannya kemarin kamu pakai motor Bay?..."

Intan bertanya kepadaku di temanni suara derik sepedaku.

"Oh iya, kemarin aku takut terlambat, jadi aku bawa motor..."

"Oh... begitu ya, memangnya rumahmu jauh Bay?...

"Lumayan jauh, sekitar tiga petempat jam kalau naik sepeda. Rumahmu jauh In? Tiap hari kamu di antar kakakmu?..."

"Sebenarnya sih tidakterlalu jauh. Kalau berjalan kaki mungkin sekitar empat puluh menit..."

"Kenapa tidak pakai sepeda saja...he..."

"Kepinginnya sih, tapi Ibuku sepertinya masih takut melepasku, soalnya aku masih baru di kota ini..."

"Ohh..."

"Oke lah besok aku tanyakan Ibuku, mungkin aku diperbolehkan...hehe..." Intan tersenyum lebar, walaupun aku tak bisa melihat wajahnya aku bisa merasakannya.
-o0o-

Ternyata es yang dimaksud oleh Sulaiman adalah es kelapa muda, memang pas untuk menghilangkan rasa panas siang hari ini. Tempatnya juga sangat strategis, di depan lapangan bola dan di bawah pohon-pohon rindang di pinggir jalan aspal. Penjualnya adalah seorang wanita paruh baya, mungkin umurnya sekitar empat puluh lima an tahun.

“Bu pesan es kelapa mudanya untuk tujuh orang...” Sulaiman memesan es kelapa muda untuk kami.

Kami duduk di bangku kayu di samping gerobak es kepala muda di bawah pohon rindang besar yang tak ku tahu namanya. Tepat di depan bangku kayu itu motor teman-temanku dan sepedaku di parkir. Intan terlihat bingung memilih tempat untuk duduk, sepertinya dia tidak terbiasa duduk di antara anak laki-laki. Dia memilih duduk di sepedaku.

Melihat Intan tidak duduk di bangku kayu, sebuah kode diberikan oleh Jafar kepada kami. Semua anak laki-laki berdiri dan berpindah tempat duduk di jok motor.

“Eh kenapa kalian berdiri, santai saja... Ga apa-apa aku di sini saja...”

“Kamu kan tamu disini masa didiskriminasika begitu... Haha...” Sulaiman tertawa mengatakan diskriminasi, Dito menyenggol badan Sulaiman. Sulaiman berhenti tertawa.

“Sekarang kamu bisa duduk di bangku itu Tan...”Dito mempersilahkan Intan untuk berpindah tempat.

“Loh ko sekarang aku yang duduk di sana, ya udah di sini aja bareng kalian...”

“Takutnya kamu nanti titanes kena karat sepedanya Bayu...haha...”

“Sialan kenapa Rudi malah mempersalahkan sepedaku.

“Haha... Ngga mungkin lah, sepedanya kelihatannya di rawat baik-baik...”

“Yes... Intan mendukung sepedaku.

Akhirnya Intan duduk di kursi kayu sendiri. Dito mendorongku dari motornya, sehingga aku goyah ketika bersandar di jok belakang motornya.

“Ngapain kamu masih disini. Sana kamu temenin Intan. Kamu kan yang bawa kesini masa di biarin sendiri?...”

“Hah... Aku... Intan...”

“Sialan kamu Dit...

Akhirnya Intan tidak duduk di kursi kayu sendiri. Dito memaksaku untuk duduk dengan Intan.

“Mas... ini es nya sudah jadi...”

“Terimakasih bu,...” jawab kami bersamaan.

Fajar membawa es kelapa muda kepada Intan, lalu duduk kembali di motornya yang tepat berada di depanku dan Intan. Laki-laki yang malang.

Sruttt....

“Bagaimana, segar bukan... ini tempat langgananku...” Sulaiman berbangga diri.

“Sip... bisa dijadikan tempat nongkrong kita besok!...” Jafar mengangkat gelas seolah ingin mengajak kami tos gelas.

Semuanya diam, menghayati tegukan-demi tegukan es kelapa muda. Suasana ramai yang beberapa detik tadi terjadi berubah menjadi begitu sunyi, sunyi senyap. Memang benar, es kelapa muda ini begitu segar, bisa di bilang nilainya delapan koma lima. Racikan gula yang digunakan begitu pas, menggunakan gula merah asli bukan gula sakarin.

“Hmmm.... aku habis duluan... kalian semua kalah...” Dito tiba-tiba berbicara.

terperangkap dalam mesin nilai“Wah... aku ga salah bawa kalian kesini...” Sulaiman terlihat begitu bahagia dan bangga.

“Menurutmu bagaimana Tan, es nya kamu kasih nilai berapa kalau maksimal sepuluh?...” Fajar bertanya kepada Intan dengan tampang terganteng yang bisa dia tunjukan.

“Sepuluh dong...”

“Kamu baru berapa bulan di sekolah ini Tan?...” tanya Rudi.

“Sekitar... hmm... tiga bulanan sepertinya...”

“Ternyata sudah lumayan lama ya... Tiga bulan... Wah Bay kamu udah telat tiga bulan berarti... Haha?...”

“Maksudmu...” timpalku.

“Ya sudah Bay kalo ngga mudeng,... Ngomong-ngomong critain dong temen-temenmu di kelas X1 Tan?...”

“Temen-temenku ya Rud?...”

Wajah Intan tiba-tiba berubah, nada katanya seolah berat untuk menjawab pertanyaan Rudi. Intan terdiam cukup lama, seolah sedang berfikir keras dengan senyuman yang resah.

Tiba-tiba Intan menyenggol kakiku dengan sepatunya, sehingga sepatuku dan sepatu Intan bersentuhan. Sepertinya Intan sedang memberi suatu kode. Aku melirik wajahnya, memang terlihat begitu kental suasana resah di wajahnya.

Intan berbisik pelan kepadaku, “Bay... Sebenarnya di kantin tadi aku mau cerita soal teman-temanku... Duh gimana nih...” suara Intan pelan, berusaha tidak terdengar yang lainnya.

“Ohhh... Jadi...”

“Shht.... Jangan keras-keras...”

“Rahasiamu itu?...”

Intan mengangguk.

Entah setan apa yang datang kepadaku saat itu, rasa penasaranku begitu besar kepada rahasia yang dimiliki oleh Intan. Jika aku harus menunggu waktu tepat agar Intan hanya bisa memberi tahuku saja, atau kata lainnya ada kesempatan kita berduaan (mungkin istilah ini terlalu berlebihan), itu terlalu lama.

“Bener kamu Rud, cerita dong Tan!!!...” suaraku keras.

Intan sekarang benar-benar terlihat ingin membunuhku. Tatapan matanya tajam seperti pisau dapur kepadaku.

Sepatu Intan kembali menyenggol-nyenggol sepatuku, sampai tiga kali. Dia berusaha memberi kode darurat untuk tidak meneruskan provokasiku.

Yah, tapi aku juga penasaran, lagi pula aku merasa tidak ingin menyimpan rahasia apapun kepada teman-temanku. Percuma jika Intan bercerita sesuatu dan memintaku merahasiakan kepada temanku.

Suatu saat pasti teman-temanku itu memaksaku membocorkannya, karena jargon mereka 'tak ada rahasia diantara kita.' Jargon yang begitu dalam, tapi terkadang aku pun tertawa jika mengingat ketika kami semua berjanji. Seperti di sinetron-sinetron abg-abg sekarang ini.

TUNGGU KELANJUTANNYA YA

Ketika aku mulai membuka mulut kembali, mata Intan begitu tajam melototiku. akhirnya aku pun...



 (PEMBACA YANG BAIK, JADI LEBIH BAIK KALAU MENINGGALKAN KOMENTAR)

Mereka di Mata Guru-Guru: Vol. 1, p. 4

1 comment :
Intan berlari meninggalkanku, sedangkan teman-temanku yang tadi memisahkan diri dariku belum terlihat keluar dari warung emak Surti. Suara tertawa mereka masih terdengar jelas dan keras, aku putuskan untuk menghampirinya.

“Wah…. Sialan kalian, main misah segala,… Yuk kekelas…”

“Lah entar lah, nunggu bel buyi,… srruuttt”

Dito dengan santainya menyeruput sisa kuah sotonya.

“Ngapain juga di kelas kalau belum masuk Bay… iya ngga Rud?...”

“He ekhmm…”

“Sudah Bell masuk, Ndes… !!!”

“Hahh… yang bener Bay?”

Fajar tersentak.

“Makanya kalo ngobrol jangan kaya orang demo…” bentak aku.

“Yo… ayo kekelas…” ajak Sulaiman.

“Bentar… aku belum bayar…” tahan Jafar.

Kami berlima berjalan menuju kelas, Fajar begitu semangat karena akan melewati kelas X1.

“Ngomong-ngomong si Intan kalau dari luar kelas kelihatan ngga ya?...”

“Udah deh Jar… kamu ikhlasin ke Bayu kenapa,… nah itu si Nurul Jar… lihat ngga, itu loh….” Teriak Sulaiman kepada Fajar.

“Nurul… hah… Nurul?? kalo kamu mau aku ga halangin Man…”

“Marah… gitu aja marah… Jar Nurul manggil kamu itu…”

“Mana?...”

“Haha… katanya ga ngarep…?”

“Sial kamu Man…”

Nurul adalah cwe kelas X4 yang sepertinya suka dengan Fajar, beberapa kali aku dan teman-teman memperhatikan si Nurul sering curi pandang kepada Fajar. Tapi Fajar seperti tidak mau tahu, dia selalu berusaha menghindar dari Nurul. Karena Fajar selalu menghindar dari Nurul, akhirnya kami selalu menggodanya jika ada Nurul. Dan mungkin begitupun yang teman-teman lakukan kepadaku dengan Intan. demi kepuasaanya mereka menjodoh-jodohkan dengan Intan. memang terkadang terasa menyebalkan, tapi aku juga menikmatinya.

Kami tiba di depan kelas X1, wajah Fajar celingukan mencari-cari tempat duduk Intan dari luar jendela kelas.

“Hoe… dasar bodoh… bikin malu aja dikelas orang celingukan…” teriak Rudi sambil menarik Fajar yang tertinggal dari gerombolan kami.

“Nah itu… Intan.. haha akhirna ketemu juga tempat duduknya…” kata Fajar bersemangat.

“Eh… mangkanya kelas X1 jadi kelas favorit ya… lihat aja tenang banget…”

Jafar yang dari tadi diam mulai berbicara dengan satu topic menarik yang ditawarkan.

“Untung kita ga disana ya Far? Bayangin saja, reputasi kelas favorit mereka pasti akan hancur kalau kita masuk kelas sana…” Sulaiman menanggapi pernyataan Jafar.

“Apa iya Man… coba aku balik kesana sekarang…”

Jafar berbalik arah namun langsung ditahan oleh Dito.

“Bodoh… bodoh… maksudnya si Sulaiman, kalau kamu diterima masuk ke kelas X1… bukannya masuk kelasnya…”

Jafar cengar-cengir mendengar Dito membodoh-bodohkannya.

“Jam terakhir ini mata pelajarannya apa ya Bay?”

“Fisika”

“Fisika ya… HAH…? Fiska? Aku belum ngerjain PR yang kemarin…”

Semua melihat Sulaiman yang terkejut dengan jawabanku.

“Aku juga belum Man… gimana ini!!!...”

Wajah Rudi lebih kebingungan.

“Haduh aku juga…”

“Kamu juga belum Far?” Tanya Dito.

“Belum Dit… kamu sudah Bay?”

“Udang dong…”

“Sipp… aku juga udah…” kata Dito.

“Toss boss…” Jafar mengajak tos aku dan Dito karena sama-sama sudah mengerjakan.

Jafar melempar pandangan kepada Sulaiman yang sedang bingung. Meneupuk pundaknya.
“Sudah tenang… salin aja milikku Man…”

“Ayo cepet keburu Bu Dyah masuk ke kelas...”

Sulaiman mendorong Jafar untuk cepat-cepat menuju kelas. Rudi dan Fajar keduanya bergantian memandang aku dan Dito.

“Kalian ga nawarin bantuan sama kita?...”

Fajar hanya mengangguk menguatkan pertanyaan Rudi kepadaku dan Dito.

“Dasar kalian… ya udah ayo…”

Kami berempat langsung mempercepat laju kaki kami menuju kelas.

Beberapa anak kelas X4 yang berada di depan kelasnya memadati jalan menujuu kelas kami.

Di dalam kelas, Sulaiman sedang terburu-buru menyalin pekerjaan milik Jafar. Anak-anak perempuan sebagian juga ada yang sedang mengerjakannya. Aku mencoba mengeluarkan buku catatanku dari dalam tas. Semakin aku mencari buku tulis tersebut, perasaanku semakin tidak enak.

“Bentar Rud, aku cari buku tulisku… sambil nunggu kamu salin milik Dito bareng Fajar aja!!!...”

Rudi bergabung ke kelompok Dito, mereka terlihat sangat gelisah dan terburu-buru menulis tugas.

Aku masih mencari-cari buku tulisku, tapi aku tidak menemukan buku tersebut. Aku membongkar seluruh isi tas slempangku. Ketika aku sedang dalam mode pencarian tersebut, tak diduga Bu Dyah masuk ke dalam kelas kami. Wajahnya yang serius membuatku semakin gemetar dalam mencari buku tulis fisika ku.

“Selamat siang anak-anak…”

“Selamat siang Bu…”

Semua anak di kelas begitu tenang setelah kedatangan Ibu Dyah ke dalam kelas. Rudi, Sulaiman dan Jafar terlihat lebih tenang, walau wajahnya masih terlihat tertekan.

Bu Dyah duduk di kursinya, kaca mata yang tidak mantap di wajahnya di dorong keatas dengan jari telunjuknhya. Beliau membuka buku materi pelajaran, melihat-lihat sampai apa terakhir kami belajar.

“Oke, sekarang sudah pertemuan kedua sehabis libur semesteraan. Ibu harap kalian sudah kembali focus kepada pelajaran. Jadi, sekarang keluarkan tugas yang Ibu berikan hari kemarin…”

Aku benar-benar kebingungan di dalam kelas. Semua anak mengeluarkan tugas mereka dan meletakkan di atas meja.

“Dit… buku ku kayaknya ketinggalan… gimana nih…”

Kataku sambil berbisik-bisik kepada Dito sebagai teman semejaku.

“Yang bener Bay… lah tadi ga ikutan nyalin?...”

“Aku kira cuma keselip, jadi aku ga ikut nyalin… aduh gimana ya”

“Udah kamu pake buku tulis lain, cepet kamu salin…” saran Dito.

“Oke… sini bukumu…”

Dengan perasaan cemas, aku mulai menyalin tugas yang dikerjakan oleh Dito. Bu Dyah mulai memberi intruksi untuk memutar buku kami ke temen sebelah.

“Oke… tugas kalian kasihkan ke teman sebelah kanan ya, setiap hitungan yang ibu berikan kalian pindahkan, sampai ibu tentukan berapa…”

Tanganku berkeringat seperti biji-biji jagung.

“Satu… kasihkan ke teman sebelah kanan kalian…, sudah?... oke, Dua… Tiga…”

Bu dyah sudah mengintruksi untuk memindahkan tugas kami ke teman sebelah sampai hitungan ketiga. Aku menyuruh Dito untuk langsung saja memberikan tugasnya ke sebelah kanan ku.

“Kamu yang di belakang, kenapa tidak ikut memindahkan buku?... sedang apa kamu?...”

Bu Dyah berjalan menuju tempat dudukku. Suara detak sepatunya yang sebenarnya tidak terlalu keras, terasa seperti suara senapan AK47 di game COD. Dito menarik buku tugasnya dan menundukkan kepalanya. Aku meletakkan bolpoint yang sedari tadi ku ajak menari diatas bukuku.

“Coba Ibu lihat, bukumu…”

Aku membiarkan buku tulis yang tadi ku pakai untuk menyalin tugas Dito di angkat oleh Bu Dyah. Wajah Bu Dyah tiba-tiba mengerngit.

Keringat yang tadi hanya ada di tanganku sekarang mengucur di wajahku.

“Jadi kamu belum mengerjakan tugas kematin?...”

“Sudah Bu…”

“Terus?...”

“Kerjaan saya ketinggalan,… tapi serius saya sudah mengejakannya…”

“Tapi Ibu tidak bisa percaya begitu saja kalau tugas kamu tertinggal di rumah…”

“Saya jujur bu…”

“Ibu tidak bilang kamu bohong, hanya belum percaya… sekarang coba kamu kerjakan soal yang ibu berikan kemarin sebagai bukti…”

Semua teman laki-lakiku memandang kepadaku dengan wajah iba. Dito sesekali melihat aku dan Bu Dyah, namun kembali menunduk dan menyembunyikan buku tugasnya.

Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain mengiyakan perintah Bu Dyah. Aku mengeluarkan buku materi fisika ku, dimana terdapat kumpulan soal yang dijadikan tugas rumah.

Ketika aku berjalan menuju papan tulis untuk memulai mengerjakan soal.

“Tadi di kelas X1 tidak ada satupun siswa yang tidak mengerjakan tugas ataupun tertinggal dirumah mereka, kalian harus bisa mencontoh kelas X1. Kalian tidak boleh kalah dengan mereka…” terang Bu Dyah.

Kenapa semua hal baik selalu dikait-kaitkan dengan kelas X1. Hampir semua guru selalu membanding-bandingkan kelas X1 dengan kelas lain. Apakah seluruh siswanya adalah jenius, tidak ada yang seperti kami.


Pindahan: Vol. 1, p.3.1

No comments :
Bel sekolah bordering nyaring, menandakan waktu istirahat kedua dimulai. Gerombolanku bergerak menuju kantin sekolah, memberi isi perut yang mengerang-erang kelaparan. Suasana begitu riuh, berebut posisi antri mendapat nasi. Di kantin sekolahku hanya ada dua penjual saja, pertama emak Surti yang sayurnya khas berkuah, sedang yang kedua adalah emak Siti yang gorengannya sangat digemari di lingkungan sekolah. Kedua tokoh tersebut adalah pahlawan, pahlawan tanpa tanda jasa, seperti halnya guru (itu menurut sebagian anak kelasku yang doyan makan).

Ditengah riuhnya suasana saling berdesakan mendapat makan siangnya, terlihat Intan yang kebingungan di belakang kerumunan anak-anak lain. Wajahnya resah, mondongak-dongakan kepala seperti orang telat datang ke konser sehingga kebagian di belakang.

“Eh… ada Intan itu…” wajah Fajar merona-rona.

“Mana-mana…” Sulaiman celingukan mencari

“Itu…itu yang disana… yuk kita godain…” Fajar semakin merona-rona, sambil menunjuk posisi Intan.

“Kamu mau nggasak bidadarinya Om Bayu… Ini…lihat…” Rudi dengan menunjukkan tinjunya kepada Fajar.

“Hoe… siapa yang OM-OM… terus apa hubungannya aku sama Intan…”

“Uwis, pokoknya kita dukung Intan buat kamu, hahahaha….” Jafar masuk perbincangan dan langsung mengajak tos semua anak-anak. Ketika tiba bagian tos denganku, aku singkap tangannya.

Tiba-tiba saja Fajar sudah maju menuju Intan berada, tanpa teman-teman yang lain sadari. Dito yang sedari tadi diam saja, juga datang mendekati mereka berdua. Tapi ternyata Dito tidak menuju Intan, tetapi malah menarik Fajar menjauhkan dari Intan.

Melihat aksi Dito kepada Fajar, sontak Jafar, dan Rudi membantu Dito menarik Fajar. Sulaiman menarik-narik aku menuju Intan. aku berusaha menolak, tapi apa daya aku melihat betapa bahagia teman-temanku memperlakukan aku seperti ini. Fajar berhasil disingkirkan oleh mereka dan di bawa ke kantin sebelah, tepatnya kantin emak Surti. Sembari pergi dengan Fajar sebagai tangkapannya mereka memberi kode-kode intruksi kepadaku untuk menemani Intan.

Dengan wajah kebingungan Intan menatapku, wajah kebingungan dengan bumbu muka cengar-cengir memang lucu. Aku berjalan meninggalkannya menuju tempat piring-piring di tata rapi. Intan malah membuntutiku.

“Bay… bantuin aku beli nasi sayur….” Intan memasang wajah memelas.

“Bantuin gimana?… Ya tinggal beli aja, susah amat…”

“Susah banget deh,… itu antrinya…” kembali dengan wajah memelas.

“Ya tinggal antri seperti biasa kamu ke kantin… jangan sok bodoh begitu…!!!...”

“Siapa yang sok bodoh… kantin disini beda dengan kantinku yang biasanya… antrinya itu,… grrr… ini bukan antri namanya, tapi berebut..” alasannya panjang lebar.

“Kantinmu?....”

“Iya… kantinku dulu rapi, semua anak antri mengambil makanan dengan tertib, tapi ini… akhhh… menyusahkan…” jelasnya dengan penuh semangat.

“Apa kamu sedang menghayal?... di sekolah ini kantin hanya dua, dan itu juga bersebelahan… yang mana kantinmu itu???...”

“Yang…”

“Yang ada dalam khayalanmu… khayalan kantin tertib itu?... lebih baik kamu bangun dari tidurmu dan mulai berebut perhatian emak…” aku memotong perkataannya dengan sedikit nada tinggi.

“Berebut perhatian emak? Emak itu apa?...” dia pasang wajah bodoh.

“Emak itu tepung terigu kasih telor!!!!.... emak ya emak lah...”

“Ini piring… kamu ambil lauk dulu, terus kamu teriak-teriak memohon kaya yang lainnya… lihat itu… “emak… nasi sama sayur… nasi sayur aku belum”… klo perlu kamu bertengkar mulut agar didahukan dapat nasi… klo perlu kamu teriak-teriak pesan makanan sama pegang duitnya, biasanya emak lebih suka ngelayanin anak yang sudah bawa duit di tangannya… terus juga…”

“Cukup-cukup… Oke-oke aku ngerti…” dia memotong kultumku.

“Huft… sekolah yang ribet…” celotehnya pelan.

Intan bergerak mendekati kerumunan antrian rebut itu. Melakukan hal yang aku jelaskan tadi, dengan cara yang kaku. Ini adalah kantin yang penuh dengan omelan, pertama tentu saja omelan para palanggannya yang kelaparan, yang kedua omelan emak Siti, mencak-mencak menyuruh anak-anak sabar.

Melihat Intan berjuang menghilangkan hasrat kelaparannya, aku jadi kasihan. Dia terlihat sangat kaku ketika berteriak memohon dilayani oleh emak Siti. Teriakannya hanya kata “Emak”… “Makan”…”Emak”... “Makan”. Terdengar memalukan.

Aku mendekati Intan dan merebut piring yang diatasnya baru ada sepotong kepala ayam.

“Eh… Eh… ngapain kamu… sini piringnya… aku belum dapat makannya !!!...” protesnya galak kepadaku.

Piring itu aku angkat tinggi-tinggi, badannya yang tingginya tidak lebih dari kupingku kesusahan menggapainya.

“Udah biar aku saja yang pesan… bodoh…” kataku kepadanya.

“Siapa yang bodoh… kamu yang bodoh tau… iya, tapi kalo mau bantuin, aku ga keberatan… hahahaha (ketawa jahat)…”

“Minggir… lihat aku…”

“Oke…” dia cengar-cengir.

-o0o-

Setelah mendapatkan sepiring nasi sayur dan lauknya, aku dan Intan mencari tempat duduk yang kosong. Tapi sialnya semua kursi penuh, akhirnya kami memutuskan makan sambil berjongkok di belakang kelas XI 2, dengan kaum-kaum yang memiliki nasib sama dengan kami. Kantin sekolah kami sangat sempit, warung kira-kira hanya seukuran 3 x 6 meter, dan posisinya yang berada di belakang kelas juga tidak menyediakan tempat yang luas untuk meja kursi makan. Bagi yang tidak mendapat meja makan biasanya akan makan dengan jongkok di belakang deretan kelas XI.

Aku melihat Intan memakan makanannya terlewat lahap. Aku melihat dia tidak seperti anak-anak kelas X1 yang lainnya. Jauh berbeda, cara dia berkomunikasi dengan orang lain, dan tidak bersikap dingin layaknya kelas X1 yang ku pahami.

“Makannya pelan-pelan… nanti cegukan…”

“Aappa… huq…huq…huq…” sepertinya karena seruanku dia malah benar-benar cegukan.

“Huq… gara…huq…gara kamu… sih…huq… air huq… cepeettt…”

Dia menenggak habis air putih yang kuambilkan, air putih di kantin gratis dan mengambil sendiri. Disediakan gelas dari plastic dan dua buah dispenser.

“AAAHHHHH…. lega”

“Jangan lebar-lebar mulutmu… BAU… dasar cwe aneh…”

“Mmmaaf… ternyata makan dikantin ini sambil jongkok enak juga ya, aku tidak pernah melakukannya di sekolahku yang sebelumnya…”

“Saat SMP?...” Tanya ku.

“Bukan!” menenggak air putih.

“Di SMA” dia menenggak air putih lagi.

“Ini bukan gelasmu...” aku merebut gelasku darinya.

“Mmmmaafffhhh…hehe” ketawa jahat.

“Jadi kamu anak baru pindah ke SMA ini?”

“Iya benar, aku anak pindahan, karena ayahku pindah kerja di kota ini”

Menenggak air putih lagi.

“Ini bukan gelasmu, bodoohh…”

“Menyebalkan sekali aku harus mendapat kelas di kelas X1…”

Aku terkejut dengan apa yang barusan dia katakana.

“Bukannya itu keberuntungan?”

“Beruntung? Mungkin bagi kamu yang tidak berada di kelas itu mengatakan beruntung…”

“Bagaimana tidak beruntung, banyak anak yang bermimpi menjadi pintar dan ditempatkan di kelas unggulan itu…” pendapatku.

“Jadi begini yang terjadi di kelas X1, aku akan membeberkan rahasianya… tapi kamu jangan cerita ke siapa-siapa, termasuk gerombolanmu itu… ok!!!...”

Aku mengangguk.

“Janji?...”

“Iya…”

“Oke jadi begini sebenarnya yang terjadi di dalam kelas X1, semoga setelah kamu mendengarnya kamu bisa berhenti berfikir masuk kelas X1 adalah keberuntungan…”

Dia mulai menceritakan dengan suara pelan dan rendah, wajahnya seolah menyimpan kesedihan saat menceritakan alasannya.

“Jadi keadaan di kelas X1 itu… hmmm…”

“Kapan mulai masuk ke cerita… sudah 4 kali kamu bilang jadi-jadi terus… dasar cwe jadi-jadian…”

“AKHHCCC…” ternyata jewerannya lumayan juga.

“Jadi begini keadaan di dalam kelas X1… mereka selalu saja….”

“Tttrreeettttt,…. “ suara Bel sekolah tanda istirahat habis telah berbunyi.

“Haduh… ceritanya lanjutin besok saja ya???... aku harus masuk kelas sekarang!...”

Intan berlari meninggalkanku dengan meninggalkan sederet pertanyaan, “Apa kelanjutan dari cerita Intan yang di awali dengan kata JADI….


Pindahan: Vol. 1, p. 3

No comments :
Langkahku lunglai melewati koridor kelas demi kelas menuju kelas ku. Wajahku terasa pucat, badan terasa lemas, langkah terasa berat. Hampir semalam suntuk aku menonton pertandingan bola di televisi.

Setelah melewati deretan kelas XII yang paling dekat dengan lokasi parkiran sepeda, aku memasuki deretan kelas X. Langkahku sedikit melambat – padahal sudah lambat – di depan kelas X1, mengingat-ingat kejadian hari kemarin.

Dari luar jendela kelas, aku melihat Intan duduk sendiri di bagkunya. Meja yang dia tempati berada di paling belakang dekat dengan jendela. Dia sedang terjaga dengan buku yang dibacanya.

“Tok…tok…

Aku mengetuk kaca jendela kelas tersebut, wajahnya menoleh dengan mulut menganga.

“Eh… apa?...”

“Temen-temen ngajak main PS lagi abis pulang sekolah… sanggup?...”

“Iya-Iya… ntar aku ikut… udah sana… hush..hush…” usirnya dengan suara rendah.

“He-emm…” berlalu meninggalkannya.

Kelas bersejarah itu aku tinggalkan pelan-pelan menuju kelasku. Kelasku berada di lantai dua, kalau di kira-kira di bawah kelasku tepat adalah kelas X1. Di lantai bawah ada empat ruang dengan urutan, ruang bahasa, kelas X1, kelas X2, ruang gudang peralatan drumband lalu tangga menuju lantai dua. Sedangkan di lantai dua setelah tangga adalah kelas X3, kelas X4, kelas X5, dan kelas X6. Dengan formasi gedung kelas X itu, menempatkan kelasku tepat di atas kelas X1.

Suasana di kelas begitu riuh oleh suara laki-laki yang hanya berjumlah 6 orang, isi kelas selebihnya adalah perempuan. Kelasku keseluruhan jumlah siswanya adalah 35. Bayangkan betapa kontras perbedaan jumlah antara laki-laki dan perempuan.

Walau jumlah kami kalah jauh dengan siswa perempuan, tapi ketika kami sedang berbincang bola, ruangan kelas akan sangat bising, mengalahkan suara 29 anak perempuan yang sedang membicarakan drama korea.

Melihat mereka begitu serius membahas pertandingan bola semalam, membangkitkan semangatku yang tadinya terkuras karena kurang tidur. Aku meletakkan tas sekolahku di atas meja.

“Nanti aku mau bikin gol sama seperti gol pertama tadi malam… gocek-gocek…”

“Mana bisa,… ini loh aku, peringkat pertama !...” teriak Rudi membanggakan hasil liga pada permainan PS hari kemarin.

“Menang beruntung saja pamer !!!...” balas Dito yang tak mau kalah.

“Pokoknya nanti kamu lihat aja lah…”

“Nanti gebetanmu ikut main lagi ga Bay?...” Sulaiman tiba-tiba merubah haluan perbincangan, memotong perkataan Rudi dan mengagetkanku.

“Gebetan?... Gebetan Dari Hongkong !!!...”

“Lah… sok nutup-nutupin…” tangkis Sulaiman dengan mencolek-colekkan kedua jempol miliknya.

“Nanti ajak jalan lagi Bay… haha…” Fajar angkat bicara.

“Intan ya?...” Jafar mendongak seolah merenung. “Cantik juga dia…hee…”

“Ngawur kalian… Gebetan? Ajak jalan? Siapa juga yang gebetannya…haha” ketawaku ku buat-buat.

“Yak lo ga mau ga papa…” Jafar kembali menimpali dengan cengar-cengir.

“Hoe-hoe…”

“Hush…”

“Kamu siapa saja diembat…” serang Dito mengepalkan tangan kepada Jafar.

“Gebetan temen sendiri mau diembat… cari sendiri sono…"

“Hoeehhh… siapa yang gebetan siapa yang digebet…” teriakku keras sambil mengglojo semua kepala temanku.

BERSAMBUNG DISINI

Jaket Merah, Vol 1, p. 2.1

No comments :
Dia dengan semangat mengorek-ngorek meja itu dengan pisau siletnya. Aku terdiam dibelakangnya, pekerjaanku sedang diambil alih seorang yang tak ku kenal sama sekali.
Mengapa dia begitu akrab, bahkan pada orang yang baru dia temui dan belum saling mengenalkan nama. Wajahnya memang awalnya terlihat kaget ketika pertama kali aku bertemu dia di pagi hari tadi. Tetapi saat ini dia sama sekali tidak terlihat menempatkan aku, orang yang sebenarnya tidak dia kenal, sebagai orang lain. Cara berbicaranya kepadaku saat ini terdengar seperti aku adalah teman lamanya.
“Eh… kamu jangan Cuma diam di belakangku dong, bantuin aku…!!!, oh ya mending kamu sikat bekas permen yang udah aku korek, kalia aja ngaruh,…”
Aku masih saja diam, masih terliputi rasa penasaran yang hanya ku tanyakan di dalam hatiku saja.
Dia menoleh ke belakang, memandang wajahku dengan sekitit wajah cemberut. Matanya yang bulat memberi sinyal bahwa dia sedikit sewot.
“Woee… lagi ngelamunin siapa?...”
“Kagak, siapa yang nglamun… kamu ko sok akrab banget tiba nylonong bantu-bantu kerjaanku?...”
Dia terdiam sebentar, melihat wajahku dengan senyumannya. Entah mengapa aku malah jadi merasa merinding, di pandang oleh dia dengan tersenyum.
“Halo… Halo… kamu masih sadar?...” tanganku melambai-lambai di depan wajahnya. Dia terdiam dan menatapku terlalu lama.
“Aku ga sadar…!!!” jawabnya.
“Hah !!!…”
“Sadar lah… ga tau juga kenapa aku jadi sok akrab, udah lah mungkin alasannya kenapa itu gak penting…”
“Kamu bener-bener ga sadar…” tanganku melambai-lambai kembali di depan wajahnya, cek kesadaran.
“Mau dibantu ga ?…” tanyanya balik.
“Iya-Iya… mau…”
Aku menyerah untuk mencari tahu, setidaknya pekerjaan membersihkan sisa permen karet siang ini lebih cepat selesai.
Setelah semua selesai, kami berdua berjalan keluar kelas bersama-sama. Dia terus saja mengoceh, membicarakan apa saja yang dia anggap bisa mengisi waktu. Mulai dari kebiasaannya, hobby, makanan kesukaan, bahkan apa saja pelajaran hari itu dia ceritakan.
Aku tetap saja diam mendengarkannya, hanya sedikit menoleh dan mengangguk ketika dia menanyakan kepadaku apa aku mendengarkannya. Wajahnya terlihat seperti manusia merengek untuk didengarkan semua ceritanya. Aku hanya bisa menghela napas panjang.
“…Grrr…Grrr….” Hp ku bergetar lama seperti saling bersalutan di dalam tas slempangku.

Sebuah pesan singkat dari Fajar, Dito, Jafar, Sulaiman, dan Rudi seperti berdesakkan masuk kotak inbokku.
Belum sempat aku membuka salah satu pesan tersebut, panggilan dari Dito masuk.
“Tit…
“Hoee,… lamma amat… kita udah selesai satu kali CUP,…” suaranya keras di tengah suara bising sekitar Dito.
“Iya bentar… udah mau ambil motor…”
“Emang kamu pake motor Bay…”
“Tunggu aja kamu situ, stiknya kamu siapain kan?...”
“Sip… cepet…”
“Tutttt…. Mati.
Aku berlari kecil menuju parkiran sepeda motor. Wanita berjaket merah yang sedari tadi nyerocos bercerita tidak jelas aku tinggalkan. Aku tak menoleh sama sekali kepadanya. Suaranya berhenti, tak terdengar lagi.
Parkiran sudah sangat sepi, hanya ada beberapa motor dan sepeda yang terparkir di sana. Di minggu awal semester dua ini, ekstra kulikuler belum ada yang aktif. Semua kegiatan kesiswaan dimulai pada minggu depan. Sebagian besar siswa sudah pulang kerumah atau pergi main menghabiskan siang sore hari mereka sebelum pulang kerumahnya. Aku dan teman-temanku memutuskan untuk bermain PS sepuasnya.
Aku mengendarai motorku melewati kelas-kelas X. Ternyata di depan kelas dimana aku mengangkat telepon dari Dito, perempuan berjaket merah tadi masih berdiri di sana, sendiri.
Selama aku bersamanya, dari pertama bertemu di kelas pagi tadi, mengorek-ngorek sisa permen karet bersama-sama, menjadi pendengar setia semua cerita tak jelasnya, sampai berlari aku meninggalkannya, aku belum mengetahui siapa namanya.
Aku membelokkan motorku menuju tempatnya. Wajahnya masih sama seperti sebelum aku meninggalkannya, tersenyum-senyum seperti sudah lama kenal saja. Aneh.
Aku akan memulai menanyakan namanya dengan sedikit basa-basi. Terasa aneh kurasa jika aku langsung menanyakan namanya, karena dari tadi sebenarnya aku hanya diam tidak menanggapi perbincangannya.
“Kamu sendirian?... ko belum pulang?... sekolah aja udah sepi banget?...” tanyaku sedikit kaku.
“Kamu mau main PS ya?...”
“Aku Tanya, malah balik tanya…”
“Aku ikut ya?” Tanya dia kembali singkat.
“Ikut apa,.. main PS… bisa apa?...”
“Bisa lah,… aku punya PS 1 di rumah, gini-gini aku jago main Metal Slug…” jawabnya dengan bangga.
“Metal Slug… kita mainnya bola, udah ah ga usah ikut, pulang saja sana nanti dimarahi mama kamu…” saranku.
“Ayo lah aku ikut,… soalnya kakaku jemput aku sorean, aku bingung disekolah sendirian,…”
Aku diam, wajahnya memelas.
“Rental PS selatan sekolah kan?... aku jamin bisa ngalahin kamu deh… ga rugi lawan aku…”
Aku putuskan untuk pergi meninggalkannya, tak ingin dipersulit oleh nya,  lagi pula aku tidak mengenalnya. Kutarik gas motorku meninggalkannya.
Baru sekitar lima puluh meter meninggalkan wanita berjaket merah itu ada suara keras menghalau ku.
“Mas… turun dari motor !!!...” terlihat Pak Sobirin, guru olah raga ku di depan kantor guru memberikan intruksi kepadaku.
Kaget dengan suara Pak Sobirin, aku langsung mematikan motor dan turun menuntun motorku. Masih dengan tatapan tegas, Pak Sobirin memandangku.
“Nah… begitu, tau aturannya kan tidak boleh menaiki kendaraan di area sekolah…” suara Pak Sobirin keras.
“Iya Pak, maaf lupa…” jawabku malu-malu.
Sementara aku menuntun sepeda motorku, wanita berjaket merah berlari mengejarku.
“Aku ikut lah… pasti aku menang. Ga kecewa lawan aku…”
“Ga usah…”
“Pokoknya ikut…”
Dia terus saja memaksa untuk ikut. Bahkan walaupun aku menakut-nakuti bahwa di sana semua anak laki-laki, dia tetap ngotot ikut.
“Ya udah boleh ikut… tapi bayar!!!...”
“Siap boss…” jawabnya mantap.

Sepanjang jalan menuju rental dia terus saja bercerita tentang game-game yang pernah dia mainkan. Tak kusangka wanita berjaket merah yang tiba-tiba sok akrab ini, dari cerita yang dia berikan memiliki pengalaman dalam bermain game. Akhirnya aku pun terbawa oleh perbincangannya, karena dia membicarakan game tak terasa aku sudah merasa akrab dengannya.
Rental PS siang sore ini sangat rame, tidak ada satupun layar televise yang kosong. Semua PS dengan kedua stiknya sudah di pegang oleh pemakainya, yang kesemuanya adalah laki-laki. Aku memasuki rental PS itu dengan diikuti wanita berjaket merah itu di belakangku.
“Tuh kan ga ada cwe nya… nanti kamu ga nyaman…”
“Dari pada di sekolah ngelamun, mending di sini lah…” katanya ketus.
Dua PS kami pesan, PS pertama sedang di mainkan oleh Rudi dan Sulaiman, sedang PS kedua sedang dimainkan oleh Dito dan Jafar, sementara Fajar sedang menunggu giliran duduk di belakang Dito. Mulut Fajar terus saja memberi komentar jalannya pertandingan antara Dito dan Jafar.
Kami masuk kedalam ruangan tersebut, Dito langsung mem-pause gamenya.
“Halo boss,.. lama banget, orang penting sih ya…” Dito berkomentar.
Fajar yang tadinya serius ngerecoki pertandingan Dito VS Jafar, beralih pandang dari layar televise menuju muka ku. Tapi tak bertahan lama, pandangannya beralih menuju siapa yang di belakangku.
Wajah Jafar terlihat bertanya-tanya, dia menyikut-nyikut Jafar seolah ingin menunjukkan sesuatu kepadanya.
“Aku boleh ikutan main ya… aku gratisin satu jam deh…” wanita berjaket merah itu tiba-tiba menawarkan diri pada teman-temanku.
Sulaiman tiba-tiba menoleh kepada kami, wajahnya sama seperti Dito dan Jafar. Wajah penasaran.
“Aku jago juga loh main bola… boleh ya” tawar wanita berjaket merah sekali lagi.
“GOOLLLLL…. GOLLLLL,… Man… gol lagi aku, ahh payah banget kamu…”
“Hoeehhh… sial… aku lagi ga focus tadi,…” jawab Sulaiman kepada Rudi.
“Kamu temennya Bayu ya?...” Tanya Dito kepada wanita berjaket merah.
“Bayu?... Bayu siapa?...”
“Lah… itu yang didepanmu !!!...”
Wanita berjaket merah itu memandangku, dan tertawa. “Hehe…”
“Bay… kamu ga kenal dia…” Tanya Fajar.
Aku menggeleng.
“Oh iya,… kenalin namaku Intan, Intan Pritasari… panggil saja terserah kalian yang penting masih namaku… hehe…” kenalnya.
“Jafar…”
“Dito…”
“Sulaiman”
“Fajar…”
“GOOLLLL……” teriak Rudi.
“Hahhh…. Ah curang….” Sulaiman spontan.
“Bercanda-bercanda Man…, aku Rudi mba…”
“Jangan panggil mba lah, namaku saja…” senyumnya kepada semuanya.
Pandangan Intan sekarang beralih kepadaku.
“Kamu ga ngenalin namamu ke aku?...” Tanya Intan kepadaku.
“Kan udah di sebutin sama Dito…”
“Oh yang tadi… Bayu ya… oke-oke sory, hehe…”
Tiba-tiba semua pertandingan yang teman-temanku mainkan di close menuju menu. Semua berebut untuk bermain dengan Intan. Semuanya focus kepada Intan dan melupakan keberadaanku.
“Heh… kita buat Liga, biar adil, biar ga rebutan main sama… siapa namamu?...” teriakku kepada teman-temanku lalu aku menoleh ke Intan.
“Intan…”
“Iya… biar ga rebutan Intan…”
“Eciee… langsung cemburu… hahaha…” simpul Rudi.
“Ehem… Ehemm…” seru mereka bersama-sama.
Sampai akhirnya kami berenam memainkan game bola yang di liga. Belum sampai habis waktu main PS yang kami sewa, Intan pamit dahulu karena kakanya sudah menunggu menjemputnya di depan sekolah.
Semua teman-temanku menanyakan bagaimana aku bisa bersamanya menuju rental PS. Aku menceritakan sebisaku kepada mereka, tapi mereka tetap saja tak percara apa yang aku ceritakan. Jafar malah sampai-sampai menuduhku memakai guna-guna, santel, pellet atau semacamnya.
Entahlah, aku sendiri juga bingung dengan wanita berjaket merah itu. Mengapa dia bisa begitu mudah akrab denganku dan teman-temanku. Padahal baru hari ini aku bertemu dengannya.
Hal yang aku masih penasari pada Intan adalah mengapa dia tidak menyinggung jaketnya yang terkena permen karetku. Mungkin, intan sendiri tidak tahu apa yang terjadi dengan jaketnya.
Sudah sore, lebih baik aku pulang kerumah.

BERSAMBUNG DISINI